Jumat, 01 Agustus 2008

Cerpen "Sisi Lain" Escaeva


Cerpenku, Sisi Lain, terpilih satu dari 14 cerpen terbaik di Ajang Kreasi Lomba Cerpen Escaeva-Bukukita.com pada 2007. Cerpen tersebut menyisihkan 1.116 naskah cerpen yang masuk dari seluruh Indonesia. Cerpen-cerpen terbaik itu dibukukan dalam Tembang Bukit Kapur. Berikut disajikan secara utuh Sisi Lain yang diilhami kasus kekerasan seks dalam rumah tangga. Selamat membaca!

Sisi Lain

Di sini. Di ruang yang dipinjamkan semesta, kutapaki tiap jengkal tanah sepi. Di bawah temaram lampu jalanan. Berselimut pekat bernama malam. Bersolek ke lorong-lorong kota. Menawarkan kehangatan kepada kelamin-kelamin yang berjalan kelaparan. Kemudian berlalu meninggalkan jejak, serupa erangan tertahan.

Entah sudah berapa banyak laki-laki. Aku tidak pernah menghitungnya. Kecuali imbalan dan bongkahan keringat yang mereka pertaruhkan.
Entah sejak kapan, kuakrabi malam. Aku tidak pernah bisa mengingatnya. Kecuali diriku yang terus menua.

Padahal waktu kutahu tidak pernah dewasa. Laki-laki dan malam. Kuabdikan seluruh usia tidurku untuk keduanya. Laki-laki menjadikan selongsong jiwaku berarti dan dibutuhkan. Meski hanya selintas pintas.

Tidak mengapa, mungkin disanalah harga diriku diletakkan. Sementara malam, gelapnya menutupi cela. Menenggelamkannya di perut bumi. Atau bahkan menerbangkannya ke angkasa sekalipun. Bersama angin yang basah karena dosa-dosa. Yang jelas, malam selalu punya cara untuk menyimpan rahasia anak manusia. Sementara siang, penuh sesak dengan sterotif. Caci maki pribadi munafik atau nasehat orang-orang sok suci.

Tidak ada ruang longgar, kecuali dipadati bibir-bibir yang mencibir. Tawa mengejek dan mata yang merendahkan. Seolah mereka hidup berdampingan dengan bangkai. Maka jadilah, bergumul dengan malam dan laki-laki, terlalu kuat untuk bisa kotolak.

Disebuah malam laknat. Aku bersama laki-laki. Tubuhnya pualam. Kokoh, dingin. Kecuali kelembutan, tiap geraknya adalah simpatik. Kulepas kancing kemejanya. Nafasnya menderu, onani. Keringatnya mengalir, tembaga. Sebelum kemudian sisa-sisa kehormatan muncrat, membasahi perut bumi yang kami tiduri. Simpan saja uangmu, kataku. Aku tidak memungut bayaran dari lelaki yang kusukai. Datanglah lagi besok malam. Akan kubuat kau merangkak. Akan kubuat matamu terbelalak. Seperti anak kecil yang mencari tetek ibunya. Hatiku berbinar. Bangga, punya kuasa atas laki-laki. Maka matilah kesendirian serta kesepian di jiwaku. Selepas dia pergi, aku mual dan muntah-muntah.

Di malam laknat yang lain, aku bersama laki-laki lain. Ia merajam tubuhku. Susuku disulut baramerah puntung rokok. Kemaluanku disayat mata belati mengkilat. Kaki dan tangaku diikat. Punggungku yang putih dan padat, dicambuk dengan sabuk. Darah mengalir anyir. Sementara mereka terbahak. Meraung buas. Bertengger di perutku, dengan darah yang menggelegak. Tapi tiba-tiba polisi mendobrak pintu hotel. Aku tergeregap. Sial, padahal aku sedang di puncak orgasme. Laki-laki itupun berlalu. Tanpa membayar pula. Kuasaku atas laki-laki tercampak.

Bagiku di dunia yang kenikmatan menjadi kewajiban, tidak ada yang abadi. Tidak kuasa. Apalagi cinta. Kecuali nafsu yang menjadi budak setia. Sebab cinta dan kuasa diciptakan bagi orang-orang suci. Yang menjunjung tingi harga diri. Itupun, bukan untuk dijual. Tapi untuk dibagi. Sebagai tanda mata, telah saling mengasihi. Barangkali.

Aku masih berselimut, ketika pagi jatuh di lantai empat. Sinarnya menembus jendela dan mencetak garis keemasan di dinding hotel yang dingin. Di saat seperti inilah, ketika kehidupan seolah baru dilahirkan kembali, kesadaranku tumbuh. Kurasa, pintu taubat tinggal setapak lagi. Namun aku tak pernah benar-benar bisa memeluk-Nya. Bahwa hidupku untuk laki-laki dan malam, tidak ada keraguan tersisa.

Aku pernah mencoba berontak. Mencari celah sekedar keluar untuk hidup normal. Meski hidup normal saja tidak cukup untuk mengarungi kehidupan. Tapi minimal, aku bersuami. Yang namanya kusayangi seperti namaku sendiri. Alangkah bahagia melayani laki-laki yang telah meminangku dengan mas kawin dari hati yang ikhlas. Kemudian melahirkan anak-anak yang nafasnya puisi. Tentu menyenangkan menyiapkan sarapan dan membacakan dongeng sebelum mereka tidur.

Air mataku yang kering, luruh kembali. Mengenang berjuta sperma bersarang di mulut dan di perutku. Seharusnya aku sudah melahirkan ratusan bayi-bayi. Yang tawanya mengobati keluh kesah. Yang tangisnya mempererat tali nikah. Tapi demi ongkos tidak seberapa, benih itu kucampakkan. Menjadikannya sia-sia. Seperti usiaku yang terbang percuma, palsu dan mati muda. Sperma-sperma itu, kering kerontang bahkan sebelum sempat menggauli belahan jiwanya.

Terpikir olehku, mereka menungguku di pintu kubur. Berbaris seperti para penziarah. Dengan tarian selamat datang yang syairnya sumpah serapah.
Atau entahlah. Kesadaran itu serentak berhamburan, seiring senja yang menua di kaki langit. Tuhan kembali membenamkanku ke lembah noda. Mengirimkan ratusan, bahkan ribuan iblis berkepaksayap ke pangkuanku. Membisikan bahwa hidup adalah penderitaan. Nafsu dan dosa itu ibadah. Mari hidup berpisah. Jangan melahirkan. Lalu Iblis-iblis itu memakaikan lipstik lagi. Membedaki wajahku lagi. Memakaikan gaun seronok lagi. Membimbingku berjalan ke lorong-lorong kota lagi. Lorong-lorong yang sepi. Lorong relung hatiku sendiri.

Melacur adalah kenyataan yang menyakitkan. Tapi inilah satu-satunya kenyataan hidup yang kumiliki. Tuhan memberiku kesadaran ketika pagi, dan mengaburkannya di sore hari. Aku seperti melakoni peran tentang epik tak berkesudahan. Peran yang membuatku berhenti berkehendak untuk berkuasa. Meski itu kupertaruhkan atas nama, hidupku sendiri. Atau, memang inilah takdirku. Sebagai batu ujian. Bagimu, bagi kalian. Pengusaha, pejabat, birokrat, politikus, gembel, atau guru dan agamawan sekalipun. Lewat takdirku, mereka melesat menuju puncak iman. Dengan takdirku, mereka bergelimang lumpur dosa-dosa.

Ibu. Tiba-tiba kecantikannya menggangguku. Hatiku jadi rindu. Entah bagaimana keadaannya setelah hari itu. Pagi masih buta ketika kemarahan bapak meledak-ledak. Tepat di hari ulang tahunku yang ke-17. Hari terakhir, dimana kuputuskan menanggalkan seluruh beban di bawah selimut.
“Ini salah mu,”
“Mengapa salahku,”
“Sebab kau melahirkannya,”
“Kau yang ingin punya anak lagi,”
“Tapi bukan seperti dia,”
“Dia anak kita juga,”
“Memang. Anak yang buat malu. Bawa sial,”
“Karena itu kita harus membimbingnya,”
“Kau saja yang bimbing. Aku sudah kehilangan muka,”
“Apa harus kehilangan dia juga, pak,”
“Itu lebih baik,”
“Pak..nanti dia dengar,”
“Itu lebih baik lagi,”

Bapak berlalu. Pintu dibantingnya. Keras. Sekeras hatinya. Kusaksikan semua dibalik daun pintu. Bukan barang satu dua kali. Tapi setiap ada kesempatan. Pernah di tengah hari, diujung pertengkaran ayah menampar wajah ibu. Hingga ibu tersungkur menumbuk sofa biru kesayangannya. Tentu saja dengan darah segar merembesi bibirnya.

Sadar sumber keributan, aku memilih jalan menikung. Kemudian hilang. Dari mereka. Dari hidupku sendiri. Ibu terisak. Air matanya tidak tumpah. Mungkin kering setelah membelaku habis-habisan. Sejauh usia kesabarannya. Aku tidak berani bersirobok dengan matanya. Takut kalau ia bisa membaca kebohongan yang kupendam dalam-dalam. Tiga tahun yang lalu. Ketika tubuhku yang laki-laki, ditindih berkali-kali. Dengan tatapan amarah, juga dendam. Dari sepasang mata nanar, milik bapak.

Singkawang, April 2004

Tidak ada komentar: