Minggu, 29 Mei 2011

Menggantang Film Indie Kalbar


* Film Maker Damba Dukungan

MASIH ingat perhelatan Festival Film Indonesia (FFI) 2009 silam? Ajang bergengsi insan film nasional itu, menobatkan Aria Kusumadewa dan Djenar Maesa Ayu masing-masing sebagai Sutradara Terbaik dan Sutradara Baru Terbaik.

Padahal, film keduanya adalah karya film independen atau indie. Aria melalui Identitas dan Djenar Maesa lewat Mereka Bilang Saya Monyet. Masuknya dua karya indie ini pun kemudian banyak diperbincangkan insan film.

Harapan bahwa film indie bisa diapresiasi dan mendapat tempat di tingkat nasional, juga adalah harapan cineas Pontianak. Satu di antaranya adalah Akilbudi Patriawan yang membesut film Amie.

Pemuda yang hanya tamatan SMA Mujahidin Pontianak ini adalah satu dari sedikit pegiat film indie di Kalbar. Memang ada sederet nama lainnya. Sebut saja Pawadi Jihad (penulis naskah), Buhari (sutradara dan artis talent), Raditya (kameramen), Anca Apriansyah (lighting), dan Ahmad Afid (musik director).

"Awalnya hanya hobi. Namun, ternyata peluang menjadi cineas sangat terbuka karena di Kalbar jarang yang menggarap film indie. Kalau pun ada, seperti yang dilakukan teman-teman di sejumlah SMA di Pontianak, film indie hanya bagian dari tugas sekolah. Belum digarap profesional," kata Akilbudi kepada Tribun, Sabtu (28/5).

Hingga 2011, sudah sekitar 23 judul film yang dihasilkan pemuda kelahiran Pontianak, 5 Juli 1988 ini. Di antaranya, Gangs Over (2009), Hantu Oneng (2009), Detektif Agatha (2010), Jebakan X (2011), dan terakhir adalah Amie (2011).

Amie sendiri diputar di Taman Budaya Kalbar, 22-23 Mei lalu. Sebelumnya, juga sempat diputar di Singkawang.

"Konsekuensi film indie adalah tidak dibayar. Sebab biaya produksi hanya didapat dari donatur. Kita sudah berupaya untuk menembus sejumlah perusahaan swasta, namun masih belum direspon. Dan ini, jadi tantangan kami para pegiat film indie, untuk memproduksi film-film indie sebaik mungkin," ujar Akilbudi.

Selain karena hambatan pendanaan tadi, ia juga mengakui sulitnya mencari pemain atau artis. Mereka kurang bisa akting. Kondisi ini membuat penggarapan film indie biasanya menjadi lama karena harus latihan sebulan sebelum syuting.

"Di luar itu, rata-rata artis di sini kurang memahami apa itu film indie. Merekrut mereka untuk bisa main dengan konsekuensi tidak dibayar, itu jadi masalah tersendiri. Kendala lainnya adalah Kalbar sering mati lampu dan daya listrik di lokasi syuting tidak memadai," papar layouter Harian Kapuas Post ini.


Pasokan listrik menurut warga Jl Tabrani Ahmad, Gg Setara Nomor 1 Pontianak ini, sangat penting. Terutama untuk menopang semua peralatan syuting. Kamera, lighting, komputer recording, rel, rata-rata butuh daya 3.000 watt.

Dengan segala keterbatasan itu, Akilbudi dan teman-teman cineas Pontianak tetap bertekad mengembangkan film indie di Kalbar.

"Film indie itu representasi dari idealisme cineas. Meski belum menguntungkan, kita tetap akan produksi film-film indie. Ada kepuasan batin ketika menggarap dan menyaksikan antusiasme penonton menyaksikan film yang kita garap. Rasanya ingin buat yang lebih baik lagi. Kepuasan serupa juga dirasakan teman-teman lainnya," tegas Akilbudi.

Apalagi katanya, mereka yang terlibat di film-film indie Pontianak, baik kru maupun artis, bisa lebih dikenal luas oleh masyarakat. Harapannya, mereka juga bisa berkiprah di pentas perfilman nasional.

Bagaimana dengan kualitas film indie? Penulis nasakah Kalbar, Pawadi Jihad, mengatakan Kalbar boleh minim soal sumberdaya manusia dan sarana serta prasarana yang mendukung perfilman di daerah.

Namun, untuk kreativitas cineas Pontianak tidak kalah. "Untuk kreativitas, saya rasa kita sudah bisa disejajarkan dengan film maker yang ada di Bandung atau Jakarta," tegas penulis yang sudah menciptakan 20 naskah film ini yakin.

Untuk itu, di Kalbar perlu diagendakan kompetisi film-film indie. Karena dari film indie yang dinilai bukan hanya filmnya, tapi juga sutradara, skenario, editornya, desainnya, para pemainnya bahkan sisi artistiknya.

"Saya yakin, jika kita bisa mengangkat film-film indie hingga kepermukaan bukan saja jago kandang, tapi bisa ikut kompetisi nasional. Peluang untuk memajukan dunia film di Kalbar secara keseluruhan bisa tercapai," ujarnya.

Untuk kompetisi berarti butuh dukungan semua pihak. "Yang namanya indie ya independence. Meski demikian, perlu jugalah dukungan yang lain. Contohnya sarana prasarana. Kita pernah buat film indie dan minta bantuan pemerintah, tapi tidak ada respon. Ya, jadi karena indie, ya memang harus berdiri sendiri," paparnya.

Berkaca dari film-film yang sudah dibuat, Akilbudi Patriawan, yakin bisa memproduksi film layar lebar. Menurutnya, alat-alat yang dibutuhkan untuk pembuatan film layar lebar, pada dasarnya mereka sudah punya. Begitu juga soal teknik penggarapan dan sebagainya. (hasyim ashari/pontiana banjaria)

Mugiono, Pemerhati dan Pegiat Film Indie

Ruang Berekspresi

Tampaknya sudah mulai ada tanda-tanda, dunia perfilman di Kalbar tumbuh dan berkembang. Hal ini dapat dilihat dari mulai munculnya sineas-sineas muda ataupun film maker lokal untuk membuat film-film indie.

Mereka punya kualitas dan kreativitas. Banyak di antara mereka yang lulusan sinematografi, desain, fotografi, dan lainnya dari universitas maupun akademi di Jawa. Kondisi itu, ditopang lagi oleh sejumlah sekolah yang ekstrakurikulernya adalah sinematografi.

Tidak jarang muncul film maker-film maker muda kreatif dari sekolah-sekolah itu. Film indie yang dihasilkan siswa-siswa itu juga sangat bagus. Nah, inikan suatu bukti, bahwa sumber daya kita ada dan sangat kreatif. Ini juga bukti perfilman Kalbar walau lewat film indie sudah sangat maju.

Tapi, kemauan tanpa dukungan yang berarti dari pihak-pihak yang diharapkan bisa membantu, juga kiranya tidak akan jalan. Sayangnya, sampai saat ini, kemauan dan kreatifitas sineas ini belum didukung pemerintah, pihak swasta, ataupun media elektronik lokal.

Seperti Dewan Kesenian atau Dinas Pariwisata tidak ada yang membidangi perfilman. Kita sudah beberapa kali minta dukungan ke pemerintah. Tapi, tidak juga ada respon. Sama halnya dengan televisi lokal.

Cobalah beri peluang untuk program film-film indie lokal agar bisa ditayangkan. Bukan merugikan, rapi malah sebaliknya bisa mengangkat rating televisi lokal itu sendiri. Imbas lainnya adalah perkembangan dunia film indie di Kalbar semakin maju.

Banyaknya sutradara film dan artis nasional yang melirik potensi perfilman Kalbar, ternyata belum mampu menggugah para pemangku kepentingan untuk membantu mengembangkan dunia sinematografi Kalbar.

Meski masih banyak kurang di sana-sini, untuk memajukan perfilman di Kalbar jangan berhenti. Para sineas atau film maker Kalbar harus terus berkarya. Kalau film-film indie kita bisa berbicara di tingkat nasional, dampaknya bukan hanya pada penggiat film itu sendiri. Imbasnya juga akan dirasakan sektor lain.

Misalnya sektor pariwisata. Lihat saja sekarang sudah banyak sutradara berkelas nasional maupun artis buat film dan menggunakan masyarakat lokal. Jika kita bisa pemerintah bisa melihat peluang besar ini, berilah dukungan pada film-film indie di sini. (pontiana banjaria)

Apriansyah, Pemeran Utama Film Amie

Coba Layar Lebar

Sudah dua kali bermain film indie di Kalbar, tidak membuat Apriansyah (21) berpuas diri dalam menekuni dunia perfilman Tanah Air.

"Saya pikir banyak juga pemain film besar, awalnya menapaki karier di sinema lewat indie dulu. Malah dengan jalur indie, saya rasa pengalaman dan kualitas akting kita bisa lebih terasah," kata anak pasangan Saparudin dan Yopita ini kepada Tribun, Sabtu (28/5).

Pemeran utama pria dalam film Amie sebagai Alex ini, mengakui sebenarnya sudah mengandrungi berpola akting sejak di bangku sekolah menengah atas. Dari sanalah, kiprahnya dikembangkan dengan bermain teater dan mendirikan Sanggar XQ.

"Cita-cita saya memang pada akhirnya bisa bermain di layar lebar. Saya harap, mengasah akting di tetaer dulu dan bermain di film indie bisa membawa saya menuju layar lebar. Yang jelas jangan sampai patah semangatlah. Kalau dihati kita sudah tertanam seni peran, ya fokuskan itu saja," tutur penggemar Vino G Bastian ini.

Pemain film indie Gengs Over ini menambahkan main film indie cukup memberi pengalaman berharga. Terutama bagaimana menjadi aktor sesungguhnya. Karena menjadi aktor secara instant juga, dipikirnya bukanlah hal bagus.

"Banyak sih suka duka yang saya dapat main film. Waktu syuting film Amie saja kondisi saya hampir drop. Karena harus bangun subuh, syuting di panas terik matahari, kehujanan dan lainnya. Tapi dari semuanya, saya bisa nambah pengalaman, banyak teman baru, dan adanya kebersamaan," papar Apriansyah.

Menurutnya, meski dirinya belum ada tanda-tanda bisa main film nasional tapi harapan untuk peluang menuju ke sana selalu ada. Dengan melihat filmnya sudah mendapat apresiasi yang tinggi dari masyarakat Singkawang maupun Pontianak, itu sudha cukup membuatnya bangga.

"Setelah syuting saya merasa lega, apalagi melihat antusias dan apresiasi masyarakat Singkawang. Buat saya bangga. Kalau dipikir, apa yang saya impikan untuk jadi terkenal, walau baru tingkat daerah, itu sudah sangat menyenangkan. Tapi, masih ada impian saya yang belum tercapai, makanya saya harus terus berusaha dan lebih tekun," ujarnya. (pontiana banjaria)

Kamis, 26 Mei 2011

Jaga Orisinalitas BSA C15

EKO, Dwi, dan Tri punya hobi yang sama. Tiga bersaudara ini selain menggilai sepeda berbagai jenis juga punya darah rider motor-motor tua.

Lihat saja, berbagai jenis sepeda terparkir di garasi dan di ruang tengah. Mulai dari low rider, sepeda ontel, sepeda balap, hingga sepeda Vixie. Adalah, sang ayah, Margono, yang memang dikenal di Kalbar sebagai pecinta sepeda.

Sementara di garasi rumahnya yang terletak di kawasan Jl Perdana Pontianak, Kalimantan Barat, terparkir berbagai jenis motor tua. Mulai dari produk Jepang hingga eropa. Yang jepang sebut saja ada Honda XL.

Motor trail yang diperuntukkan bagi pegawai lapangan Dinas Pertanian itu, terawat dengan sangat baik. Jumlahnya ada dua unit dan tetap dipertahankan orisinil. Sementara untuk produk Eropa, lebih banyak lagi.

Mulai dari Birmingham Small Arms (BSA), Norton, hingga Albert John Stevens (AJS). Semuanya juga dalam kondisi siap pakai. Bahkan kerap digunakan touring. Mulai dari Singkawang, Sambas, hingga Kapuas Hulu.

Saat didatangi, BSA C 15 Tahun 1959 tampak sangat mencolok. Motor berbaju warna merah Ferari ini, menggunakan mesin C11G. Mesin 249 cc OHV.

Dua unit kaki depan belakang, juga dibaluk pelek orisinil. "Hanya sekarang diwarnai dengan cat karena jika tidak, karat akan merusak besinya," kata Eko.

Warna merah mendominasi sepeda motor BSA milik Eko. "Orisinal sepeda motor ini tetap terjaga dari speedometer hingga klanpot," katanya.

BSA jenis ini terlihat lebih ramping dan ringan. Kendaraan tersebut hanya diproduksi dari tahun 1959-1960.

Untuk transmisi sepeda motor ini memiliki empat percepatan, memiliki silinder tunggal dengan sisitem pengapian mengunakan platina.

Mesin berbentuk mono blok, mesin dan transmisi telah menyatu. Untuk rotasi oli terpisah dengan mesin.

"Oli yang ada di sepeda motor ini hanya lewat dari box menuju mesin," jelas Eko dengan menunjukan rotasi oli tersebut menuju mesin. (Tribun Pontianak)

AJS 350 cc Bikin Bangga

SEPEDA motor Albert John Stevens (AJS) model 16 milik Eko ini didominasi warna merah ferari, bentuk tangkinya besar terlihat kokoh. Eko mempertahankan keaslian bentuk motor tersebut.

"Bisa dikatakan motor AJS ini hampir 90 persen masih orisinal," kata Eko yang tinggal di Jl Perdana, Kota Pontianak, Kalimantan Barat.

Sepeda motor ini memiliki ukuran ban dan pelek berukuran ring 18 dengan jumlah jeruji sebanyak 40 buah.

"Untuk motor tua Eropa hampir selurunya menggunakan jeruji sebanyak 40 buah sedangkan sepeda motor daru jepang menggunakan jeruji kurang itu," Jelas Eko

Sistem transmisi motor tersebut menggunakan empat kecepatan gearbox dan lansung ke rantai. Ada yang unik pada sistem transmisi sepeda motor tesebut. Transmisi berada di sebelah kiri pengendara sedangkan rem berada di sebelah kanan.

"Jika orang tidak terbiasa mengendarai sepeda motor ini pasti akan kebingungan," Ungkap Dwi adik Eko yang juga pecinta motor klasik.

Jenis mesin sepeda motor tersebut adalah 348 cc OH dengan pendingin udara tunggal. mesin tersebut dapat menghasilkan kekuatan hingga 16 bph ( 12 KW) atau setara dengan 5600 rpm.

Kecepatan maksimun sepeda motor ini dapat mencapai 126 km per jam. "Jadi sepeda motor ini jika untuk touring akan terasa nyaman," jelas Eko.

Suspensi bagian depan kendaraan ini menggunakan teledrrolic fork dan bagian belakang menggunakan (lengan ayun) swinging arm. sistem pengereman depan dan belakan menggunakan tromol.

Bobot asli sepeda motor tersebut kungang lebih 173 Kg. "Bobot sepeda motor AJS bisa membuat seluruh badan pegal jika hanya didorong," jelas Dwi.

Sistem mesin yang digunakan terdapat pemisahan antara transmisi dan mesin dan silinder tunggal. pengapian sepeda motor tersebut menggunakan platina.

Pipa pushroad tertutupi oleh liner blok piston. "Suara yang keras dan nyaring yang membuat sepeda motor ini terlihat semakin 'gahar'," kata Eko.

AJS adalah nama merk dari motor asal Inggris yang lahir pada tahun 1909 (sumber lain ada yang mengatakan 1910). AJS dibuat oleh empat dari lima bersaudara Stevens (anak dari Blacksmith).

Awalnya mereka hanya membuat mesin untuk motor pada tahun 1897. Untuk mematenkan nama mesin tersebut, mereka memperkenalkan nama baru untuk motor tersebut.

Setelah dengan berbagai pertimbangan, akhirnya memakai nama inisial dari Saudara pertama yaitu Jack yang mempunyai nama Cristian Albert John. Alhasil lahirlah sebuah nama AJS yang merupakan singkatan dari Albert John Stevens.

AJS sangat legenderis kala itu karena mampu memecahkan 117 rekor dunia dalam balapan. Namun pada tahun 1931 AJS terlilit permasalahan finansial dan akhrinya pada tahun 1938 tergabung dalam AMC (Associated Motorcycles) bersama Matchless, Norton, Francis Barnett dan James.(Tribun Pontianak)

Menjajal Motor AA Gym

PADA 2002 silam, saya berkesempatan mendatangi langsung Pondok Pesantren Daarut Tauhid, Bandung, yang diasuh KH Abdullah Gymnastiar (AA Gym). Saya datang bersama rombongan dari Pontianak, Kalimantan Barat.

Adalah biro perjalanan Manajemen Qolbu (MQ) Pontianak di bawah pimpinan drg Heru Zarkasi yang mengajak saya melihat langsung Ponpes Daarut Tauhid. Ada sekitar 20 orang rombongan yang ikut serta.

Mereka terdiri dari sejumlah pejabat, pengusaha, dan masyarakat dari berbagai profesi lainnya. Hanya saya yang jurnalis. Tujuan kami dua hari ke sana sebenarnya ingin bersilaturahmi dengan AA Gym, melihat dari dekat bisnis yang dibangunnya, sekaligus ingin menimba pengetahun tentang Islam.

Saat itu, rumah tangga AA Gym masih jauh dari prahara seperti sekarang. The Ninih, bahkan kerap mendampingi AA Gym ketika memberikan ceramah, terutama usai Salat Ashar. Tausiah dilakukan di halaman MQ TV.

Jemaah pengajian dari berbagai daerah duduk bersila. Dari mulai tua sampai yang muda. Selain menyirami rohani jemaah, AA Gym kerap bertutur tentang hobinya terbang dan berkuda. Ada juga slide yang di putar dan ditembakkan ke sebuah layar lebar.

Di luar tausiah, rombongan dari Pontianak disuguhkan program cuci mata ke berbagai tempat wisata di Bandung. Mulai dari Taman Bunga di Lembang hingga Saung Angklung Mang Udjo. Ketimbang memilih ke sana, saya sendiri lebih memilih menikmati Kota Bandung sendirian.

Berjalan kaki di sekitar Hotel Topaz Galeria, Bandung, tempat kami menginap. Saya senang menyusuri Jl Dr Djunjunan, Bandung, karena bisa langsung akses ke Bandung Trade Center (BTC).

Di sana saya sempat membeli Hanphone Sonny Ericsson R310S, Sirip Hiu. Menggantikan Siemen M35 yang sudah setahun saya pakai.

Saya juga bisa menikmati berbagai jajanan, seperti Bala-bala yang sudah lama tidak saya rasakan karena memang tidak ada di Kota Pontianak.

Di tempat AA Gym, saya berkesempatan berdialog dengan AA meski tidak banyak. Apalagi kalau bukan tentang koleksi sepeda motornya. Awalnya saya penasaran ada berbagai jenis motor di depan rumah AA Gym, yang sepintas dindingnya terbuat dari bilik bambu.

Sepengamatan saya, ada satu unit Honda Phantom, dua unit Kawasaki Eliminator, satu unit Honda CB Gelatik, dan satu unit Kawasaki KZ 200 atau yang biasa disapa Binter Merzy platina.

Saya pun penasaran bagaimana motor sebanyak itu, bisa ada di teras rumah AA Gym. "Honda CB Gelatik itu peninggalan orangtua saya yang TNI," kata AA Gym.

Ia menuturkan, sepeda motor itu belum semuanya. Sebab masih ada satu unit Honda Phantom yang ia simpan di Jakarta. Motor itu, untuk keperluan dakwah di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

"Awalnya, saya diundang ke Astra Honda Motor Jakarta. Karena macet, saya pilih naik ojek. Rupanya, orang Astra tidak tega melihat saya naik ojek. Mereka kirim motor ke Jakarta dan Bandung. Ya, Honda Phantom itu," ujar AA Gym tersenyum.

Dengan sepeda motor itu jugalah, AA Gym mengaku menghabiskan sejumlah waktu senggangnya. Termasuk menelusuri sudut Kota Bandung untuk memberikan tausiah. Ia juga dikenal dekat dengan sejumlah klub motor di Bandung.

AA Gym menambahkan sebenarnya, Honda Phantom dan Kawasaki Eliminator itu bukan motor besar. "Hanya karena ukuran badan saya yang kecil, motornya jadi kelihatan besar," ujar AA terkekeh.

Usai bertemu AA Gym, saya minta izin nyemplak Honda Phantom. Tidak ada ubahan berarti. Semua masih orisinil. Kecuali ada tambahan engine guard yang dipasangi penerang tambahan.

Selain motor, ada yang membuat saya terkesan dengan AA Gym soal urusan roda dua. Ia kerap menggunakan sepeda untuk meninjau satu unit usaha ke unit usaha lainnya. Semua terletak di kawasan Ponpes Daarut Tauhid.

Ia naik sepeda masih mengenakan sorban dan kain sarung. Sambil membunyikan bel kring...kring..kring, AA Gym kerap memecah kerumunan jamaah dari berbagai daerah yang memenuhi ponpesnya.

Ulahnya yang kocak itu, sering membuat jamaah yang melihatnya tertawa dan geleng-geleng kepala. (hasyim ashari)

Senin, 23 Mei 2011

Norton Road Holder Kesayangan


* Kiky: Berapapun Tidak Saya Jual


YAKIN mengikuti kata hati sebagai biker, Koordinator Borneo Check Point Club Brotherhood, Kiky Prabawa (41), sudah menjelajahi berbagai daerah di Indonesia. Seperti Putussibau, Kuching, Yogyakarta, Bromo, Bali, Semarang, Bandung, dan Jakarta menggunakan motor tuanya.

Kiky memulai debutnya di sepeda motor klasik karena ketularan pergaulan dengan komunitas motor klasik di Bandung. Saat itulah juga, dirinya memutuskan berpetualang ke Pontianak, Kalimantan Barat.

Awalnya ia menunggangi sepeda motor dengan mesin keluaran tahun 1952, Ducati 40cc. Kemudian berpindah pada BSA B40 dan Machtless lansiran era 60-an. Namun, hatinya kemudian tertambat di Norton 1956 bermesin 500cc.

Ia bahkan memburu sparepart orisinilan si Road Holder, di baik dalam dan luar negeri. "Si Norton itu sudah sering dimodif. Karena kalau ada sparepart yang baru dan ori lagi, saya pasang. Tiap tahun, ganti baru. Entah berapa kali dan tidak terhitung lagi biayanya," kata Kiky.

Ia memperkirakan sudah menghabiskan lebih dari Rp 100 juta untuk modifikasi si Road Holder bernomor 13 tersebut. Selain karena bentuk yang klasik dan unik, Kiky sangat tergila-gila dengan Nortonnya karena memiliki nilai historis dalam perjalanan hidupnya.

"Saya tinggalkan kerjaan kantoran, hijrah, dan berjuang hidup dari kecintaan saya dengan motor klasik. Ya, bisa dikatakan nilai historis perjuangan hidup saya semua ada di motor ini," ucap Kiky yang enggan menjual motornya berapapun harganya.

Nilai kebebasan dari aturan dan adanya kepuasan yang sangat istimewa dirasakan Kiky, dengan memiliki tunggangan klasik seperti si Norton. Dengan cat berwarna merah dan krem dan diberi sentuhan air brush lidah menjulur simbol group legendaris Rolling Stone, kiranya Norton sebagai teman sejati selain istrinya.

"Dulu saya sering bawa istri jalan-jalan atau touring. Sekarang sudah jarang demi kesehatannya. Makanya joknya saat ini saya buat single," ujar pria asal Bandung ini disambut tawa sang istri.

Motor buatan Inggris ini, dimodifikasinya dengan membuat sendiri (handmade). Mulai dari jok, knalpot, tangki oli, maupun bensin. "Karena barang ini ori dan kebanyakan dari luar, jadi kita terpaksa nunggu barang datang. Kalau ada baru kita pasang yang ori. Bukan handmade lagi. Makanya saya masih kurang puas, sama seperti shockbreaker belakang yang belum ada," papar
Kiky sembari menunjukkan sparepart penunjang kenyamanan berkendara.

Norton milik Kiky tampil unik dan klasik. Dengan jok kulit single dan posisi knalpot yang sangat dekat berada dengan jok. Ini patut diwaspadai jika, ketika turun dari motor sebaiknya mengambil sebelah kiri supaya terhindar dari letupan besi panasnya.
"Dulu waktu muda, nyantai aja suara knalpotnya berisik sampai ganggu orang lain. Tapi sekarang, saya ubah jadi halus, biar enggak mengganggu," ucapnya ditemui di kediamannya Jl Irian Nomor 22 Pontianak, Kalimantan Barat.

Perjuangannya hijrah ke Bumi Khatulistiwa tidak sia-sia. Ternyata hobi bisa membuatnya survive dalam hidup. "Siapa bilang hobi tidak bisa menunjang kehidupan. Saya rasakan dan alami, hobi bisa bikin kita hidup, lahir dan batin. Kepuasan jiwa dan batin. Buktinya, saya bisa memiliki usaha dan saya juga puas bisa melakukan hobi dengan motor klasik ini," ujarnya.

Dengan motornya ini pula, ia sudah menjelajahi beberapa daerah di Kalbar dan indonesia, untuk kepuasan, jalin persaudaraan serta refreshing bersama keluarga dan bikers di komunitasnya.

"Kemerdekaan dan kebebasan diri. Inilah jiwa biker. Kadang saya refreshing dengan touring bersama teman-teman dan istri. Biasanya kita juga ke suasana alam seperti berpetualang. Kita juga rindu suasana itu sekaligus bersosialisasi, bahwa bikers bukan komunitas brutal atau anggapan miring lainnya," pungkas Kiky. (pontiana banjaria/tribun pontianak)

Spesifikasi
Motor : Classic Bike Norton 1956
Model : Cafe Racer
Rangka : Norton Feather Bed (wide line)
Shock depan : Original Norton Road Holder

Roda depan
Teromol : Triumph T 110
Pelek : Allumunium "Horex-Willman"

Roda belakang
Teromol : Triumph Boneville
Pelek : Allumunium 19" Horex-Willman
Gear box : Norton Comando
Kopling : Dry Clotch Norton Comando
Clipon : Triton
Tangki bensin : Poikin (handmade) 25 liter
Tangki oli : Handmade
Sepatbor : Alloy Handmade
Jok : Handmade (single jok)
Knalpot : Handmade
Modifikator : Bengkel AA Kiky Prabawa
Jl Sungai Raya Dalam Komplek Villa Permata Indah
Hp 0813 2233 1202

Semangat Kekeluargaan Black Jack


KOMUNITAS Black Jack Motoriders (BJM) Pontianak terbentuk tanpa disengaja. Berawal dari sekadar kumpul-kumpul karena memiliki kesamaan hobi dengan motor klasik. Semakin lama pertemuan dilakukan intens sejak 1996.

Pada 6 Juni 2006 tercetuslah nama klub. Daud Hariyanto, yang merupakan satu di antara pendiri, mengaku Black Jack sebagai wadah bagi para pencinta, pengguna, dan penggemar motor klasik chopper.

Aliran motor chopper dapat dilihat dari ciri-ciri yang ada, seperti model tangki yang dibikin lebih kecil dari aslinya dan juga pemotongan rangka yang dilakukan untuk membuat tampilan menjadi simpel.

"Awalnya kami hanya kumpul-kumpul beberapa orang, namun seiring berjalannya waktu kami merasa ada persamaan hobi maka kami bentuk Black Jack. Lagipula di sini kami seperti keluarga, punya hobi serta motor yang sama," ucapnya pada Tribun, Rabu (18/5).

Kini anggota Black Jack Pontianak mencapai 30 orang dan sudah ada dua chapter di Landak serta Sanggau yang masing-masing 20-an anggota.

"Kalau anggota kadang ada yang aktif, kadang juga tidak itupun tergantung. Tapi kami biasa tetap ketemu dan silaturahmi. Misalnya kalau mau mengadakan touring," tambahnya.

Ia menambahkan jika komunitasnya tidak menutup kemungkinan untuk orang yang tidak memiliki motor tersebut untuk kumpul bareng, selama orang tersebut nyaman.

"Siapapun boleh menjadi anggota kami, kami membuka untuk umum. Karena kami ingin menjalin persaudaraan dan menyalurkan hobi di dunia otomotif saja," tutur PNS Kota Pontianak ini.

Keberagaman profesi dan background malah membuat mereka semakin merasa adanya ikatan kekeluargaan yangs angat erat. Karena di komunitas ini bukan hanya mahasiswa tapi juga pegawai swasta maupun pegawai negeri.

"Kalau kumpul-kumpul biasanya ngobrol tentang motor, pakai aksesori apa dan curhat-curhatan. Tampang kami aja yang begini, tapi kami bukan geng motor yang berandal atau suka buat keributan. Malah kalau ngumpul kami suka bercanda," ungkap Bendahara Black Jack, Susi.

Setiap Sabtu dan Minggu malam, anggota Black Jack kumpul bareng di Bundaran Universitas Tanjungpura, Jl Ahmad Yani Pontianak, Kalbar. Kumpul sesama penggemar motor adalah hal mengasyikkan.

Hal tersebut dirasakan Erwin dan Sean Black Jack. Seperti touring dan kumpul menggunakan motor chopper bersama anak-anak BJ lainnya, sudah menjadi bagian dari aktivitas yang menyenangkan.

"Di sini semua aliran ada, punk, rock, dan berbagai profesi. Tapi kami disatukan oleh hobi dan motor yang sama. Apalagi di sini mengutamakan nilai kekerabatan. Biasanya saling bantu kalau teman kita butuh sesuatu untuk motornya. Terlebih kalau sudah touring, ada kepuasan tersendiri bagi kami dan bisa terlena. Juga ngilangin stres," ujar Erwin.

Meski mereka klub motor dan mungkin ada sebagian masyarakat melihat tampang mereka akan merasa takut atau was-was. Tapi tidak sedikit juga yang menyukai gaya mereka, bahkan sampai mengacungkan jempol ketika parade iring-iringan chopper melintasi daerah mereka.

"Kalau kami touring ke daerah, banyak yang lihat tuh. sampai-sampai ada yang ngacungin jempol. Enggak tahu juga sih maksudnya. Tapi artinya bagus aja kan?" tambah Erwin.

Daud mengatakan, anggota komunitas BJ ini memang egois. Artinya karena bentuk motor yang hanya memiliki single jok, jadinya kalau mau masuk anggota harus punya motor. Karena bila tidak, motor chopper tidak ada boncengannya.

"Motor kita memang motor egois. Tapi kami tetaplah kami. Biasa saja, apa adanya. Bahkan waktu itu para sarjana dari Fakultas Teknik, minta kita yang mengarak mereka saat acara wisuda," kata Daud lalu dibenarkan rekan-rekan lainnya.

Dalam menjalankan kegiatan komunitas, para anggota BJ memang diikat dengan peraturan wajib yang harus dipatuhi olah anggota tanpa terkecuali. Di antaranya wajib bayar iuran Rp 10 ribu per bulan, dilihat keaktifan anggota, memakai baju kebesaran BJ saat berkumpul atau touring.

"Kalau mau gabung, calon anggota isi formulir dan bayar administrasi Rp 10 ribu serta dilihat dulu keaktifannya selama tiga bulan, dan pastinya punya motor chopper. Datang aja ke sekretariat kami di bengkel Black Jack Jl RE Martadinata nomor 3 Pontianak", ucap Susi, pemilik Thunder modif keluaran 2005. (pontiana banjaria)

Bukan Club Berbahaya

Berbekal mesin besar, knalpot freeflow dengan suara mesin knalpot menggelegar, suspensi rigid membuat sepeda motor chopper menarik perhatian di keramaian. Para pemilik chopper yang kumpul, sekilas mirip dengan pengendara Harley Davidson.

Gaya retro dengan dandanan simpel bahkan sampai tangki sepeda motor super kecil dengan setang super tinggi dan ban rendah menjadi keunikan anak-anak Black Jack.

"Kalau dilihat dari standar motor, memang kami tidak lengkap. Kalau ada razia, ya kita enggak lewat lokasi pemeriksaan. Lagipula motor ini tidak kita pakai sehari-hari. Hanya saat kumpul dan touring aja," Jelas Daud.

Anggapan kalau anak geng itu berbahaya sudah mereka sadari. Namun untuk membuang image atau persepsi tersebut, mereka banyak melakukan kegiatan sosial. "Setiap touring kita ada misi baksos. Kalau nongkrong pun kami tidak macam-macamlah. Kita juga patuhi aturan lalu lintas kalau di jalan," tambah Erwin, Susi dan Sean.

Dengan kegiatan-kegiatan ini, mungkin saja predikat negatif yang di kenal oleh masyarakat luas tentang geng akan berubah derastis menjadi positif. Lagipula tentu tidak ada ruginya melakukan aneka gerakan sosial.

Pada 6 Juni mendatang, BJ Pontianak akan berulang tahun ke-5. Mereka berencana mengadakan touring ke Sintang pada 25 Juni 2011. Dengan dua chapter di Landak dan Sanggau. "Selain touring, kita juga silaturahmi sama anak-anak di daerah karena mereka masih baru terbentuk. Sekalian baksos dan hiburanlah," ucap Daud. (pab)

Pak Ketua Kerap Ajak Anak Istri

Hobi mengoleksi dan mengendarai motor chopper sudah menjadi bagian hidup Daud Haryanto. Pria kelahiran 36 tahun silam ini memang tidak bisa dilepaskan dari tunggangan klasiknya itu.

"Sudah hobi dari dulu sih, jadi enggak bisa dihilangkan. Lagian asyik aja bisa ketemu teman- teman yang punya hobi sama," katanya pada Tribun, Rabu (18/5).

Terkadang saat kumpul atau nongkrong bareng di base camp mereka atau di sekitar Bundaran Untan (tugu Digulis), Daud juga membawa serta anak dan istrinya. Hal itu dilakukannya agar mereka mengetahui dirinya yang tampil apa adanya bersama teman klubnya.

"Biasa juga saya ajak anak dan istri. Tapi tidak satu motor, karena joknya untuk single. Mereka pakai motor lain. Inilah kekeluargaan yang kita bina, anggota juga bisa membawa keluarga atau pacar mereka saat kita kumpul," tambah pemilik Custom Rigid Chopper ini.

Sementara itu, mengenai klub, dirinya yang sudah menyatu dengan teman-temannya, menginginkan agar klub yang dibentuk bisa terus eksis dan tetap mengikat tali kekeluargaan yang baik.

"Pengennya Black jack tetap ada, eksis, dan besar. Bukan hanya di Pontianak tapi juga di daerah lain. Itu yang penting. Juga kami pengen kita bisa ngadain baksos dengan klub motor lain di sini," harapnya.

Namun disadarinya agar club tetap bisa eksis perlu keterlibatan dan rasa persaudaraan sesama anggota juga adanya dana untuk melakukan kegiatan, contohnya touring dan bakti sosial (baksos).

"Uang iuran itulah yang kita gunakan untuk kegiatan BJ. Memang kadang, kalau mau touring ke luar atau baksos, kita perlu dana cukup besar. Tapi, kalau sudah hobi dan rasa kebersamaan, masalah itu bisa kita atasi," pungkasnya. (pontiana banjaria)

Semangat Kekeluargaan Black Jack

Komunitas Black Jack Motoriders (BJM) Pontianak terbentuk tanpa disengaja. Berawal dari sekadar kumpul-kumpul karena memiliki kesamaan hobi dengan motor klasik. Semakin lama pertemuan dilakukan intens sejak 1996.

Pada 6 Juni 2006 tercetuslah nama klub. Daud Hariyanto, yang merupakan satu di antara pendiri, mengaku Black Jack sebagai wadah bagi para pencinta, pengguna, dan penggemar motor klasik chopper.

Aliran motor chopper dapat dilihat dari ciri-ciri yang ada, seperti model tangki yang dibikin lebih kecil dari aslinya dan juga pemotongan rangka yang dilakukan untuk membuat tampilan menjadi simpel.

"Awalnya kami hanya kumpul-kumpul beberapa orang, namun seiring berjalannya waktu kami merasa ada persamaan hobi maka kami bentuk Black Jack. Lagipula di sini kami seperti keluarga, punya hobi serta motor yang sama," ucapnya pada Tribun, Rabu (18/5).

Kini anggota Black Jack Pontianak mencapai 30 orang dan sudah ada dua chapter di Landak serta Sanggau yang masing-masing 20-an anggota.

"Kalau anggota kadang ada yang aktif, kadang juga tidak itupun tergantung. Tapi kami biasa tetap ketemu dan silaturahmi. Misalnya kalau mau mengadakan touring," tambahnya.

Ia menambahkan jika komunitasnya tidak menutup kemungkinan untuk orang yang tidak memiliki motor tersebut untuk kumpul bareng, selama orang tersebut nyaman.

"Siapapun boleh menjadi anggota kami, kami membuka untuk umum. Karena kami ingin menjalin persaudaraan dan menyalurkan hobi di dunia otomotif saja," tutur PNS Kota Pontianak ini.

Keberagaman profesi dan background malah membuat mereka semakin merasa adanya ikatan kekeluargaan yangs angat erat. Karena di komunitas ini bukan hanya mahasiswa tapi juga pegawai swasta maupun pegawai negeri.

"Kalau kumpul-kumpul biasanya ngobrol tentang motor, pakai aksesori apa dan curhat-curhatan. Tampang kami aja yang begini, tapi kami bukan geng motor yang berandal atau suka buat keributan. Malah kalau ngumpul kami suka bercanda," ungkap Bendahara Black Jack, Susi.

Setiap Sabtu dan Minggu malam, anggota Black Jack kumpul bareng di Bundaran Universitas Tanjungpura, Jl Ahmad Yani Pontianak, Kalbar. Kumpul sesama penggemar motor adalah hal mengasyikkan.

Hal tersebut dirasakan Erwin dan Sean Black Jack. Seperti touring dan kumpul menggunakan motor chopper bersama anak-anak BJ lainnya, sudah menjadi bagian dari aktivitas yang menyenangkan.

"Di sini semua aliran ada, punk, rock, dan berbagai profesi. Tapi kami disatukan oleh hobi dan motor yang sama. Apalagi di sini mengutamakan nilai kekerabatan. Biasanya saling bantu kalau teman kita butuh sesuatu untuk motornya. Terlebih kalau sudah touring, ada kepuasan tersendiri bagi kami dan bisa terlena. Juga ngilangin stres," ujar Erwin.

Meski mereka klub motor dan mungkin ada sebagian masyarakat melihat tampang mereka akan merasa takut atau was-was. Tapi tidak sedikit juga yang menyukai gaya mereka, bahkan sampai mengacungkan jempol ketika parade iring-iringan chopper melintasi daerah mereka.

"Kalau kami touring ke daerah, banyak yang lihat tuh. sampai-sampai ada yang ngacungin jempol. Enggak tahu juga sih maksudnya. Tapi artinya bagus aja kan?" tambah Erwin.

Daud mengatakan, anggota komunitas BJ ini memang egois. Artinya karena bentuk motor yang hanya memiliki single jok, jadinya kalau mau masuk anggota harus punya motor. Karena bila tidak, motor chopper tidak ada boncengannya.

"Motor kita memang motor egois. Tapi kami tetaplah kami. Biasa saja, apa adanya. Bahkan waktu itu para sarjana dari Fakultas Teknik, minta kita yang mengarak mereka saat acara wisuda," kata Daud lalu dibenarkan rekan-rekan lainnya.

Dalam menjalankan kegiatan komunitas, para anggota BJ memang diikat dengan peraturan wajib yang harus dipatuhi olah anggota tanpa terkecuali. Di antaranya wajib bayar iuran Rp 10 ribu per bulan, dilihat keaktifan anggota, memakai baju kebesaran BJ saat berkumpul atau touring.

"Kalau mau gabung, calon anggota isi formulir dan bayar administrasi Rp 10 ribu serta dilihat dulu keaktifannya selama tiga bulan, dan pastinya punya motor chopper. Datang aja ke sekretariat kami di bengkel Black Jack Jl RE Martadinata nomor 3 Pontianak", ucap Susi, pemilik Thunder modif keluaran 2005. (pontiana banjaria)

Bukan Club Berbahaya

Berbekal mesin besar, knalpot freeflow dengan suara mesin knalpot menggelegar, suspensi rigid membuat sepeda motor chopper menarik perhatian di keramaian. Para pemilik chopper yang kumpul, sekilas mirip dengan pengendara Harley Davidson.

Gaya retro dengan dandanan simpel bahkan sampai tangki sepeda motor super kecil dengan setang super tinggi dan ban rendah menjadi keunikan anak-anak Black Jack.

"Kalau dilihat dari standar motor, memang kami tidak lengkap. Kalau ada razia, ya kita enggak lewat lokasi pemeriksaan. Lagipula motor ini tidak kita pakai sehari-hari. Hanya saat kumpul dan touring aja," Jelas Daud.

Anggapan kalau anak geng itu berbahaya sudah mereka sadari. Namun untuk membuang image atau persepsi tersebut, mereka banyak melakukan kegiatan sosial. "Setiap touring kita ada misi baksos. Kalau nongkrong pun kami tidak macam-macamlah. Kita juga patuhi aturan lalu lintas kalau di jalan," tambah Erwin, Susi dan Sean.

Dengan kegiatan-kegiatan ini, mungkin saja predikat negatif yang di kenal oleh masyarakat luas tentang geng akan berubah derastis menjadi positif. Lagipula tentu tidak ada ruginya melakukan aneka gerakan sosial.

Pada 6 Juni mendatang, BJ Pontianak akan berulang tahun ke-5. Mereka berencana mengadakan touring ke Sintang pada 25 Juni 2011. Dengan dua chapter di Landak dan Sanggau. "Selain touring, kita juga silaturahmi sama anak-anak di daerah karena mereka masih baru terbentuk. Sekalian baksos dan hiburanlah," ucap Daud. (pab)

Pak Ketua Kerap Ajak Anak Istri

Hobi mengoleksi dan mengendarai motor chopper sudah menjadi bagian hidup Daud Haryanto. Pria kelahiran 36 tahun silam ini memang tidak bisa dilepaskan dari tunggangan klasiknya itu.

"Sudah hobi dari dulu sih, jadi enggak bisa dihilangkan. Lagian asyik aja bisa ketemu teman- teman yang punya hobi sama," katanya pada Tribun, Rabu (18/5).

Terkadang saat kumpul atau nongkrong bareng di base camp mereka atau di sekitar Bundaran Untan (tugu Digulis), Daud juga membawa serta anak dan istrinya. Hal itu dilakukannya agar mereka mengetahui dirinya yang tampil apa adanya bersama teman klubnya.

"Biasa juga saya ajak anak dan istri. Tapi tidak satu motor, karena joknya untuk single. Mereka pakai motor lain. Inilah kekeluargaan yang kita bina, anggota juga bisa membawa keluarga atau pacar mereka saat kita kumpul," tambah pemilik Custom Rigid Chopper ini.

Sementara itu, mengenai klub, dirinya yang sudah menyatu dengan teman-temannya, menginginkan agar klub yang dibentuk bisa terus eksis dan tetap mengikat tali kekeluargaan yang baik.

"Pengennya Black jack tetap ada, eksis, dan besar. Bukan hanya di Pontianak tapi juga di daerah lain. Itu yang penting. Juga kami pengen kita bisa ngadain baksos dengan klub motor lain di sini," harapnya.

Namun disadarinya agar club tetap bisa eksis perlu keterlibatan dan rasa persaudaraan sesama anggota juga adanya dana untuk melakukan kegiatan, contohnya touring dan bakti sosial (baksos).

"Uang iuran itulah yang kita gunakan untuk kegiatan BJ. Memang kadang, kalau mau touring ke luar atau baksos, kita perlu dana cukup besar. Tapi, kalau sudah hobi dan rasa kebersamaan, masalah itu bisa kita atasi," pungkasnya. (pontiana banjaria)

Jumat, 20 Mei 2011

Kamus Dayak Kanayatn Satu Dekade















Pala' : Botak. Kepala tanpa rambut, atau dengan rambut tapi tidak menutup seluruh kepala.
Baga : Bodoh. Tidak pintar.
Baga' : Mabuk asmara. Jatuh cinta.

Itulah contoh tiga kata yang ada di Kamus Bahasa Dayak Kanaytn yang dihimpun Mantan Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Landak, Silverius Mulyadi.

Dengan susah payah dan perjuangan tidak kenal lelah, pensiunan PNS ini, akhirnya berhasil menyelesaikan kamus bahasa Dayak Kanaytn.

Rabu, 6 April 2011 lalu, menjadi hari paling bersejarah. Tidak saja bagi Silverius sendiri, namun juga bagi masyarakat Kalbar, khususnya etnis Dayak. Diiringi gerimis, kamus bahasa Dayak Kanayatn, akhirnya berhasil di-launching di Kecamatan Menjalin, Kabupaten Landak.

Hadir dalam momen bersejarah itu, Bupati Landak Adrianus Asia Sidot, Ketua DPRD Landak Heri Saman, sejumlah Kepala SKPD di lingkungan Pemkab Landak, jajaran Muspika Menjalin, pengurus Dewan Adat Dayak (DAD) Landak, Camat Menjalin, para Timanggong, Pasirah, Pangaraga, para pejabat adat, dan para undangan.

"Saya sangat senang. Dari sekitar 60-an buku yang saya sediakan. Semuanya bagai kacang goreng, ludes. Ini apresiasi yang luar biasa. Secara khusus saya persembahkan kamus ini untuk generasi muda Dayak Kanaytn, agar tidak melupakan ragam kosa kata Kanaytn," kata Mulyadi kepada Tribun Pontianak, Kamis (7/4) lalu.

Dewan Pakar DAD Landak ini menyebut, ada sekitar 20.000 kosa kata bahasa Dayak Kanayatn di dalam kamusnya. Kamus yang menurutnya masih jauh dari sempurna ini, ia godok selama 11 tahun, sejak 2000.

Meski membutuhkan satu dekade, namun Mulyadi tak putus semangat demi melestarikan warisan bahasa Kanayatn. Ia menjelaskan, dalam kamus, tak hanya berisi kosakata Kanayatn dalam percakapan, namun juga terdapat banyak penjelasan mengenai istilah ritual adat.

Rangkuman bahasa Kanayatn dalam kamus tersebut, ia rangkum dari berbagai daerah sebaran subsuku Dayak Kanayatn, seperti di Kabupaten Landak, Kabupaten Pontianak, dan Kabupaten Kubu Raya (KKR).

Suami Margaretha ini mengatakan sebelum memutuskan untuk menulis kamus bahasa Dayak Kanayatn, ia mempelajari dulu tentang bahasa Dayak di Pulau Kalimantan. Menurutnya, bahasa Dayak di Kalimantan ada 400-an dari sekitar 400-an sub suku Dayak.

Di Kalbar sendiri terdapat 151 subu suku Dayak dengan 100 sub suku dengan 168 bahasa. "Kemajemukan bahasa ini adalah tumpukan harta karun budaya bangsa. Sekaligus menunjukkan aneka ragam keindahan, kearifan, keunikan tradisi, pengetahuan, dan teknologi. Ini adalah benteng pertahanan terakhir budaya masyarakat adat sendiri," papar Mulyadi.

Alumnus Seminari Nyarungkop ini menambahkan bahasa Dayak di Kalbar, relatif lebih baik dibandingkan bahasa daerah di dunia. Mulyadi menyebut bahasa Aborigin di Australia yang kini, tergerus bahasa Inggris dan nyaris tidak digunakan lagi.

"Namun demikian, bukan berarti bahasa Dayak luput dari tekanan, himpitan, tantangan, dari penggunaan bahasa Indonesia yang notabene jadi bahasa persatuan. Ia menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah, mulai SD hingga perguruan tinggi," bebernya.

Dominasi Bahasa Indonesia itu, menurut Mulyadi berimplikasi memarjinalkan bahasa daerah yang ada. Secara psikologis, anak-anak di daerah menilai Bahasa Indonesia adalah bahasa orang pintar, dan tidak jika menggunakan bahasa daerah.

"Mereka jadi imperior jika menggunakan Bahasa Dayak. Bahasa daerah ini kerap dianggap bahasa kampung, bahasa orang-orang tidak berpendidikan," ujar Mulyadi.

Himpitan keberadaan bahasa Dayak juga datang dari akulturasi kebudayaan dengan mekanisme kawin campur. Misalnya, warga Dayak menikah dengan warga dari sub suku Dayak lainnya. Dengan bahasa yang berbeda, maka pasangan ini cenderung tidak menggunakan bahasa daerah.

Bahasa daerah tidak dituturkan lagi kepada anak-anak mereka karena orangtua memilih menggunakan Bahasa Indonesia sebagai pengantar sehari-hari. Ditanya kenapa harus Kanayatn, Mulyadi menegaskan dibanding bahasa Dayak lain, bahasa Dayak Kanayatn sangat dominan.

Misalnya terdapat dan aktif digunakan di Kabupaten Pontianak, Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Landak, kawasan pesisir, hingga daerah perkotaan.

"Bahasa Dayak Kanayatn juga mudah dimengerti karena ada serapan Bahasa Indonesia, Bahasa Asing, dan ilmiah. Karena itu, bahasa Kanayatn cukup dominan digunakan dalam percakapan maupun bahasa komunikasi di antara masyarakat Dayak," tutur Mulyadi.

Dia mengakui, kamus yang ditulisnya tersebut belumlah sempurna. Saat ini merupakan peluncuran edisi pertama, sambil terus melakukan revisi dan pengayaan materi. Rencananya, kata Mulyadi, kamus tersebut akan diterbitkan sampai tiga edisi.

"Harapan saya, kamus ini bisa mendokumentasikan agar khasanah Kanayatn jangan sampai punah di makan waktu," tegas Mulyadi. (hasyim ashari/dasanovi gultom)

Buah Cinta Istri dan Cucu

Silverius Mulyadi menuturkan membutuhkan waktu 11 tahun menyusun kamus, karena ia memiliki berbagai keterbatasan. Namun, keterbatasan itu mampu ia patahkan dengan semangat, kecintaan, dari sahabat dan orang-orang dekat yang mengerti apa yang sedang ia kerjakan.

"Saya mengerjakannya di waktu senggang. Semua berdikari. Tanpa dana dari mana-mana. Niat dan kecintaan kepada budayalah yang menuntun saya mengumpulkan kata demi kata," kata Mulyadi.

Kadang, untuk menambah kosakatanya, ia mendatangi narasumber satu persatu, door to door. Terutama mereka yang selama ini diyakini sebagai penuturnya. Mereka tersebar di Kabupaten Pontianak, Kubu Raya, dan Landak. Dari merekalah, lama-lama kata yang dihimpun bertambah banyak.

"Tidak hanya itu, kadang saya mendengar perakapan di atas opelet atau di warung-warung kecil. Lalu, kata-kata yang terlontar saya salin di kertas pembungkus rokok atau pinggiran koran agar saya tidak lupa. Itu kalau saya lupa bawa buku catatan. Sampai di rumah, baru saya salin ke buku catatan," ujarnya.

Meski jaman sudah canggih dan komputer sudah merambah ke desa-desa, namun ternyata Mulyadi tidak bisa menggunakan fasilitas tersebut karena tidak memilikinya. Di rumah ia hanya punya satu unit mesin tik merk Royal.

"Mesin tik punya sendiri. Sudah bonto (Tua.Red). Bersyukur, masih berfungsi meski tidak lagi 100 persen," kenangnya.

Beruntung, sahabat dan sanak keluarga kadang datang membantu. Terutama cucunya yang bekerja di Bank Central Asia (BCA) di Pontianak.

"Yang paling membantu, cucu saya, Anggrelia SE. Dia yang membantu mengurus pengetikan, mengedit, sampai menyusunnya. Ia juga yang membantu untuk biaya pengetikan sampai bisa menerbitkan kamus ini," ucap Mulyadi penuh syukur.

Selain, cucunya, istrinya Margaretha juga sangat membantu. Selama mengerjakan kamus, dan efektif mengetik sejak 2008, Margaretha tidak pernah mengeluh macam-macam atas apa yang ia lakukan.

"Istri tahu kesibukan saya menyiapkan kamus ini. Jadi, ia tidak banyak ini dan itu. Dia paham betul saya sedang menyusun kamus bahasa Dayak Kanayatn. Inilah bentuk bantuan istri saya," ujarnya tertawa kecil.

Yang membuatnya makin mantap menyelesaikan kamus, karena dukungan juga datang dari berbagai pihak. Ada tanggapan bagus dari Bupati Landak, semua tokoh adat, Pemkab, pemuda, dan masyarakat ilmiah. Jadi, kerja keras selama 11 tahun, terbayar sudah," imbuhnya.

Ia mengakui kalau kamus yang diterbitkan sendiri ini, masih prematur. Masih akan disempurnakan terus. Suatu saat, ia berencana akan mendaftarkan kamusnya sebagai Hak Astas Kekayaan Intelektual (HAKI) di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Langkah ini diambil untuk mengantisipasi pihak-pihak yang melakukan plagiat. (hasyim ashari)

Warisan Monumental

Bupati Landak, Adrianus Asia Sidot, menyatakan keberadaan kamus bahasa Dayak Kanayatn merupakan upaya pelestarian bahasa maupun kearifan lokal untuk menghadapi era globalisasi yang telah memasuki setiap sendi kehidupan masyarakat Dayak.

Menurutnya, bahasa daerah atau bahasa ibu merupakan bagian dari jatidiri. Bila tak dilestarikan, niscaya budaya dan adat nenek moyang akan ikut luntur tanpa adanya pengetahuan tentang bahasa daerah.

"Adanya kamus bahasa dayak kanayatn, diperlukan dalam menghadapi globalisasi. Sekarang tak sedikit remaja dayak yang tak bisa bertutur bahasa dayak secara fasih," kata Bupati Adrianus Asia Sidot kepada Tribun, belum lama ini.

Terkikisnya kemampuan untuk menggunakan bahasa daerah, lanjutnya, karena pergaulan yang saat ini tanpa batas mengikuti perkembangan teknologi. Kamus bahasa dayak Kanayatn, sambung Adrianus, yang ditulis tersebut merupayakan karya monumental.

Ia mengharapkan peluncuran kamus, kelak tak hanya berfungsi secara harfiah untuk mencari kosakata Dayak Kanayatn, namun menggugah semua generasi Dayak Kanayatn untuk menghargai bahasa, budaya, adat, maupun kearifan yang telah diturunkan ratusan tahun.

"Karenanya, kamus bahasa kanayatn ini, saya lihat merupakan karya monumental. Apalagi sang penulis merupakan tokoh tua Dayak Kanayatn," tegas Bupati.

Pada saat peluncuran kamus, Bupati Landak juga menegaskan kamus ini merupakan sejarah berharga warga Dayak.

"Sejarah ini bukan berupa candi, tapi berupa buku yang akan digunakan sampai ke anak cucu kita. Apalagi kamus bahasa Dayak Kanayatn ini mempunyai nilai yang teramat tinggi. Harus diingat juga bahwa tidak semua orang bisa menulis buku, apalagi ini kamus Bahasa Dayak Kanayatn," ujar Adrianus dengan logat bahasa Dayak Kanayatn.

Menurutnya, dalam menyusun kamus ini, bukan hanya kecerdasan yang diperlukan. Namun juga keberanian, ketekunan, ketelatenan, dan kesabaran.

"Jadi kita harus sabar menghimpun kata demi kata untuk membuat kamus ini. Apalagi satu kata yang ada di kamus tersebut, dibongkar sampai ke dalam-dalamnya," paparnya.

Bupati menegaskan, Silverius Mulyadi sudah memulainya. Selanjutnya menjadi tugas bersama untuk mewariskan kamus Bahasa Dayak Kanayatn ini kepada anak cucu. Kepada lembaga- lembaga Dayak di Kalbar, silakan mengembangkan kamus Dayak yang sudah disusun ini.
Memang akan membutuhkan keahlian, pendanaan, peralatan, penelitian dan sebagainya.(dasanovi gultom)

Memperkaya Khasanah

Dekan FKIP Universitas Tanjungpura Pontianak, DR Aswandi, menilai bahasa ibu, dalam hal ini, bahasa Dayak Kanayatn, termasuk juga bahasa daerah lainnya, memang harus dipelihara. Jika tidak, ia bisa hilang. Maka, ia harus dipelajari, diteliti, dan digunakan.

"Kalau ada yang membuat kamus, ini bentuk uapaya agar bahasa ibu ini tidak mati. Dalam aktivitas sehari-hari, bahasa ibu menjadi bahasa pengantar dan penyampai pesan paling efektif di rumah," kata Aswandi kepada Tribun Pontianak.

Karena itu, ia menjadi alat komunikasi, transformasi pemikiran, sekaligus budaya turun temurun. Secara psikologis, penggunaannya akan sangat mempengaruhi perkembangan anak.

Pada kelas-kelas rendah, seperti taman kanak-kanak, atau maksimal hingga kelas 3 SD, saya pikir, penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar akan sangat disenangi anak-anak.

Sebaliknya, jika ternyata di sekolah saat ini lebih banyak memanfaatkan Bahasa Indonesia, sebagai bahasa pengantar pendidikan, jangan dimaknai akan menggerus keberadaan bahasa ibu. Malah sebaliknya, ia akan semakin memperkaya khasanah bahasa daerah.

Seperti diketahui, bahasa Indonesia juga merupakan bahasa serapan. Baik, dari bahasa Asing maupun bahasa daerah.

Saat ini, memang sangat dianjurkan untuk membuat berbagai kamus bahasa daerah. Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas memiliki sejumlah kamus bahasa daerah.

"Saya sendiri punya tiga kamus Bahasa Melayu. Karena itu, keberadaan kamus Bahasa Dayak Kanayatn yang diluncurkan April lalu ini, diharapkan makin memperkaya kahasanah budaya.
Apalagi FKIP saat ini sangat sedang mengembangkan sastra daerah," tegasnya.

Aswandi mengaku FKIP Untan sangat terbuka untuk menjalin kerjasama, termasuk dengan penyusun Kamus Bahasa Dayak Kanayatn. FKIP siap mendukung dan bekerjasama. (hasyim ashari)

Biofile

Nama : Silverius Mulyadi
TTL : Karangan, 12 Juli 1940
Pendidikan : SLTA Seminari Menengah Nyarungkop
Pekerjaan : Pensiunan PNS
Istri : Margaretha
Anak : Cristina Rismiwati Spd
Martalinda SE
Vicensius B
Heri Mulyadi SH
Alamat : Jl Raya Menjalin Hulu Nomor 04, RT01/RW01, Dusun Menjalin Hulu, Kabupaten Landak
Jabatan : Mantan Ketua Dewan Adat Dayak Kabupaten Landak
Mantan Wakil Ketua DPRD Landak
Kontak : 081256297560