Kamis, 25 Desember 2008

Rumah Tanpa Huruf R

Saat kecil dulu, kalau berkelahi dengan teman sepermainan saya sering diolok. Bahan olok-olokan itu pula yang memancing perkelahian semakin menjadi-jadi. Tidak jarang yang berakhir dengan baju robek, atau wajah membiru. Atau setidaknya menangis tersedu.

Bocah yang paling suka mengolok saya adalah Kubil. Nama aslinya adalah Hardi. Rumah kami hanya dibatasi kebun langsat dan rambutan. Disebut Kubil karena meski orang Betawi asli, matanya sipit. Persis tokoh kartun Kubil di Harian Pos Kota.

Hampir setiap hari, apalagi kalau dia kalah main sepakbola, Jaban, atau Tojo. Senjata pamungkasnya pasti keluar. "Cadel, cadel, cadel!!" begitu dia menghardik saya.
Saya kemudian membalasnya dengan mengatakan "Congek woii congek!"
Seperti halnya saya, Kubil juga punya kekurangan. Dari telinganya mengeluarkan cairan berwarna putih kekuningan yang beraroma tidak sedap. Kalau sudah saling ejek begitu, selanjutnya pasti baku hantam.

Begitulah. Jujur saya merasa minder karena lidah saya pendek. Jadi, tidak bisa mengucapkan huruf R. Perasaan itu masih tumbuh saat saya di SMP dan SMA. Apalagi, setiap Senin atau Sabtu, saya kerap diminta jadi Pemimpin Upacara Bendera. Atau minimal membaca UUD 1945.
"Kepada pembina upacala, holmat glakk!" begitu kira-kira.

Saya sedikit terhibur karena di kampung saya ada anak Jakarta yang baru pindah. Satu keluarga, mereka tidak bisa menyebut huruf R. Bahkan, kalau berbicara yang mereka sebut huruf L bukan R. Ternyata, ada yang lebih parah. Dari sana saya mulai kritis. Karena, Babeh, Enyak, dan ketiga adik saya bisa melafalkan R dengan baik. Artinya, cadel bukanlah keturunan.

Dari sejumlah referensi, cadel adalah ketidakmampuan mengucapkan satu huruf unik. Umumnya huruf R. Meski ada juga sebagian orang yang justru bisa menyebut huruf R namun cadel untuk huruf lainnya. Orang Jepang misalnya, kebanyakan cadel pada huruf L.

Cadel sendiri dibedakan menjadi dua, yaitu cadel karena faktor psikologis dan cadel karena faktor neurologis. Cadel yang disebabkan faktor neurologis berarti disebabkan adanya gangguan di pusat bicara.

Untuk mengatasinya, mereka (umumnya anak) dengan gangguan ini harus segera dibawa ke neurolog. Pada prinsipnya, gangguan ini masih bisa ditangani. Namun bila kerusakannya termasuk parah, bukan tidak mungkin akan terbawa sampai dewasa.

Cadel yang kedua adalah cadel yang disebabkan faktor psikologis. Karena kehadiran adik, contohnya, maka untuk menarik perhatian orang tua, anak akan menunjukkan kemunduran kemampuan bicara dengan menirukan gaya bicara adik bayinya.

Untuk mengatasinya, orang tua harus menunjukkan bahwa perhatian padanya tidak akan berkurang karena kehadiran adik. Selain itu, orang tua juga harus terus mengajak anak bicara dengan bahasa yang benar, jangan malah menirukan pelafalan yang tidak tepat. Pada kasus yang parah, dianjurkan membawa anak ke ahlinya agar bisa tergali apa masalah yang melatarbelakanginya.

Singkat cerita, saya terkena cadel neurologis dan terbawa hingga dewasa. Layaknya orang dewasa, saya membutuhkan pendamping hidup. Sungguh tak dinyana, perempuan yang saya nikahi, Mina, juga tidak fasih melapal huruf R. Bahkan, kadarnya lebih parah dari saya. Kalau lagi iseng saya sering menggodanya, juga sebaliknya.

Setahun setelah menikah, kami dianugerahi bocah mungil Bagas Kusuma Wardhana. Saat lahir, selain nama, apalagi yang dipikirkan kalau bukan jangan-jangan Bagas juga tidak bisa bisa menyebut huruf R. Kekhawatiran itu makin memuncak saat Bagas belajar bicara, huruf S, ,N, dan huruf R-nya tidak karuan. Huruf lainnya, vokal kah atau konsonan bisa ia serap dengan baik dan mengucapkannya dengan baik pula.

Sebelum kehadiran Bagas, saya dan istri kalau tidak terpaksa, sangat jarang menyebut kata yang ada huruf R-nya. Begitu Bagas mbrojol ke muka bumi, kami tambah jarang menyebutnya. Khawatir kalau Bagas ikut-ikutan.

Jadilah, nyaris selama empat tahun ini, di rumah kami jarang sekali terdengar ada huruf R diucapkan. Kami terus merangsang Bagas agar bisa menyebut huruf R, S, dan N. Saat umurnya, 2 tahun tujuh bulan, dia mengalahkan huruf S dan N. Tapi, tidak untuk huruf yang kami takuti, R. Dia masih saja cadel. Jangan-jangan....jangan-jangan...kami sudah berpikiran buruk saja. Karena memang hampir menyerah.

Saya kemudian coba berimprovisasi, tanpa konsultasi ke psikolog, bagaimana agar bagas sukses menaklukan huruf R. Di antaranya dengan membelikan VCD lagu-lagu pop dewasa dan sebuah lap top mainan yang mengajarkan mengeja huruf dan angka.

Di luar itu, kami memberikan keleluasaan Bagas untuk bermain sesukanya. Termasuk dengan anak- anak yang usianya lebih tua. Jujur, dia lebih banyak belejar mengenal sendiri, terutama huruf R.


Hasilnya, sungguh di luar dugaan. Dua pekan lalu, Bagas sudah bisa menyebut hurur R dengan baik. Saking senangnya, kadang kami membuatnya jengkel. Misalnya, ketika menyebut kata kamar. Kami kerap melontarkan pertanyaan terbuka dan berulang-ulang.

Misalnya, Bagas tadi sembunyi di mana?
Dia menjawab, "Di kamar,"
"Dimana? " tanya saya lagi.
"Di kamar," katanya.
"Maaf Gas, Ayah tidak dengar,"
"Di kamar Ayah. Makanya perhatiin kalau Bagas lagi ngomong," ujarnya geram.

Aku dan istriku tersenyum lebar.
Alhamdulillah..Bagas tidak cadel. Tidak seperti Ayah dan Bundanya. Kini, setelah hampir empat tahun, akhirnya ada huruf R di rumah kami. Duh...Senangnya bukan main! Padahal, kami hanya dikasih huruf R.

Kamis, 18 Desember 2008

Muda-Andreas Cetak Sejarah


*Kemenangan Ketiga Calon Independen

Saya masih ingat betul, pengamat politik Fachry Ali, sempat berujar saat mengomentari kemenangan Irwandi Yusuf yang menangi Pemilu Gubernur Nanggroe Aceh Darussalaam (NAD), pada 11 Desember 2006.

Irwandi dan Muhammad Nazar adalah pasangan calon independen. Mereka mengantongi 38,20% suara sekaligus mengalahkan pasangan Golkar malik Raden-Sayed Fuad Zakaria dan kandidat dari PPP Ahmad Humam Hamid-Hasbi Abdullah.

"Kasus Irwandi Yusuf itu langka. Belum pernah ada kejadian sebelumnya calon independen menang. Di negara-negara yang mengakomodir calon independen dalam undang-undangnya, mungkin kemenangan calon independen NAD ini adalah baru pertama kali di dunia," kata Fachry Ali.

Tampaknya, pengamat dari LIPI itu harus segera meralat ucapannya. Sebab, Oktober 2008, sejarah kemenangan calon independen terulang untuk kedua kalinya. Kali ini, giliran pasangan OK Arya Zulkarnain-Gong Matua Siregar yang memenangi Pemilu Bupati Batubara, Sumatera Utara.

Keduanya mengantongi 34,67 persen suara. Unggul atas pesaing terdekat psangan Yahdi Khoir Harahap-Surya yang diusung PAN dan Golkar.

15 Desember 2008, pencapaian cemerlang calon nonpartai politik juga mewarnai Pemilu Bupati Kubu Raya, Kalimantan Barat. Pasangan independen Muda Mahendrawan-Andreas Muhrotien tidak tergoyahkan meski pemilihan harus dua putaran.

Keduanya mengalahkan Pasangan Sujiwo-Sapta Oktohari yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P) dengan perbandingan suara 123.448 dan 91.539. Dengan begitu, berarti sudah tiga pasangan calon Independen yang memenangi pemilihan kepala daerah di Indonesia sejauh ini.

Terlepas dari berbagai faktor, saya hanya ingin mencermati bagaimana Irwandy Yusuf, OK Arya Zulkarnain, dan Muda Mahendrawan membetot perhatian masyarakat.

Irwandi Yusuf adalah cerdik pandai dibalik upaya perdamaian di Aceh. Selain ditunjuk sebagai senior Representative GAM (TNA) untuk Misi Pemantau Aceh (AMM), ia juga dipercaya petinggi GAM di Swedia sebagai Koordinator Juru Runding GAM. Saat rapat pertama di Aceh Monitoring Mission, dia tampil sebagai koordinator Juru Runding GAM di Aceh (2001-2002).

sementara Oka Arya dan Muda Mahendrawan, gigih berupaya memekarkan wilayah masing-masing. Oka memperjuangkan Kabupaten Batubara lepas dari Kabupaten Induknya, Asahan. Sementara Muda Mahendrawan begitu mengakar karena kukuh mengusung pemekaran Kabupaten Pontianak menjadi Kabupaten Kubu Raya.

Kemenangan calon independen sebenarnya bukan barang baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pada 1955, Indonesia pernah mengakui M Hasan yang duduk sebagai anggota legislatif dari luar partai politik. Untuk partai, Indonesia juga sempat terhenyak saat Partai Dayak menang di Kalimantan.

Bukti sejarah itu pula yang menegaskan sesungguhnya calon independen memiliki akar dalam sejarah ketatanegaraan negara kita.

Tapi, tetap saja kemenangan ketiga pasangan calon independen di atas menimbulkan perbincangan hangat di masyarakat. Teman-teman ngopi saya sempat mempertanyakan apa yang sesungguhnya terjadi dengan mesin-mesin partai politik?

Kurang besar apa PDI P dan Golkar di Kubu Raya? Kurang kuat bagaimana PAN, Golkar, dan PPP di Aceh?

Mustahil mereka tidak bergerak. Apalagi, tiap partai memiliki hierarki kepengurusan dan basisi massa yang jelas. Dan, paling mungkin digerakkan menjadi mesin penghimpun suara terefektif. Karena, umumnya mereka loyal terhadap pengurus partai yang lebih tinggi.

Inilah, meminjam istilah mantan Ketua MPR, Amien Rais, sebuah pelajaran berharga bagi partai politik. Betapa kehadiran calon independen membuat oase di tengah hujatan dan kurang berwibawanya partai politik akhir-akhir ini.

Partai-partai lebih sering sibuk dengan dirinya sendiri. Mereka sepertinya membicarakan kepentingan publik, tapi hanya di awal, untuk kemudian rakyat hanya menjadi bahan tawar-menawar kekuasaan. Mereka sepertinya sibuk memperhatikan konstituen, tapi hanya saat-saat pemilihan umum untuk akhirnya mereka lupakan.

Lihat saja, bagaimana partai politik berkecenderunan untuk menjadi oligarki karena seringkali kurang mengkonsultasikan pencalonan seseorang melalui partai dengan konstituennya. Partai sekadar menjadi
juri untuk meloloskan seseorang menjadi calon kepala daerah.

Kehadiran calon independen sebetulnya merupakan mekanisme kontrol terhadap partai-partai politik.
Namun demikian, partai-partai politik tidak perlu takut menyikapai fenomena ini, selama memiliki manajemen yang baik dan bertanggung jawab kepada konstituennya. Dan mereka mengembalikan fungsi sebagai organisasi yang mengartikulasikan kepentingan publik.

Memang calon independen ini lebih pas dipakai dalam pemilihan kepala daerah dibandingkan dalam pemilihan presiden. Tetapi, siapa yang bisa menyangka. Gubernur Aceh sudah, Bupati Batu-bara sudah. Bupati Kubu Raya sudah. Presiden Indonesia, mungkinkah?

Pengalaman di Amerika Serikat memperlihatkan sulitnya calon independen menang dalam pemilihan presiden. Sepanjang sejarah negeri Paman Sam itu, hanya George Washington yang bisa menjadi presiden tanpa lewat partai. Apalagi ada mekanisme pemilihan pendahuluan guna menentukan calon partai dalam pemilihan presiden untuk menjamin aspirasi rakyat.

Tak pelak, calon independen seperti Ross Perot atau Ralph Nader, hanya menjadi semacam penggembira. Walaupun mereka punya banyak uang. Di tataran politik lokal, calon independen memang bisa menang meski sepanjang sejarah, baru tiga gubernur nonpartai yang terpilih.

Terakomodirnya calon Independen tidak terlepas keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang mengabulkan yudicial review pasal 59 UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pilkada. Isinya calon perseorangan dibolehkan ikut berlaga dalam pemilihan kepala daerah dengan memerhatikan ketentuan pasal 58 UU Pemda melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.

Di luar itu, hakikat demokrasi adalah kesetaraan semua warga untuk mendapatkan hak mereka. Tak ada yang diistimewakan, tak ada pula yang dikekang, termasuk soal hak dipilih. Inilah makna yang pantas digarisbawahi dari keputusan Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan keputusan itu, kini kandidat kepala daerah tak perlu mendapat dukungan partai untuk berlaga di ajang pemilihan kepala daerah.

Itulah fakta demokrasi kita. Publik tidak bodoh. Mereka punya mekanisme sendiri untuk menolak hegemoni partai. Ketika partai tidak lagi merepresentasikan konstituennya, mereka memilih untuk tidak memilih atau mencoblos calon independen, seperti yang terjadi di Aceh, Batubara, dan Kubu raya. Fenomena maraknya golongan putih dan populernya calon independen seharusnya menjadi pelajaran bagi partai-partai.

Hadirnya calon independen tidaklah berarti menyingkirkan peran partai. Demokrasi yang sehat tetap membutuhkan partai, karena di sinilah mekanisme rekrutmen calon pemimpin yang lebih teratur bisa berjalan. Partai juga diperlukan untuk menyederhanakan konflik politik dalam masyarakat.

Tugas partai-partai politik sekarang adalah bagaimana agar mereka mampu memperkecil kesenjangan antara harapan publik dan peran yang dijalankan partai. Bila kesenjangan itu teratasi, calon independen dengan sendirinya tak akan banyak mendapat pendukung.

Minggu, 14 Desember 2008

Wajah Sastra Kalimantan Barat

Diambil dari http://dedyariasfar.blogspot.com
Posting: Jumat, 15 Agustus 2008, pukul 07:12

Perkembangan sastra di Kalimantan Barat satu tahun terakhir ini menunjukkan gairah yang menggembirakan. Surat kabar lokal mulai giat memberi ruang kepada peminat sastra untuk mengapresiasikan naluri seni sastra mereka.

Bahkan surat kabar lokal dapat dikatakan telah menjadi barometer sejarah sastra di Kalimantan Barat. Hal ini tentu akan sangat baik jika itu terus terjadi, artinya surat kabar lokal secara konsisten menyediakan kolom tersendiri untuk para peminat sastra dan sebaliknya para peminat sastra pun dapat memanfaatkan peluang yang disediakan dengan bersungguh-sungguh.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa periodesasi sastra di Kalimantan Barat, salah satunya dapat dilihat melalui surat kabar lokal. Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini akan mengungkapkan bagaimana sejarah awal perkembangan sastra di Kalimantan Barat dan situasi sastra berdasarkan terbitan surat kabar lokal Pontianak dan implikasinya bagi perkembangan sastra di Kalimantan Barat.

Pengantar
Kalimantan Barat merupakan merupakan satu daerah di wilayah Nusantara yang menyimpan kesan menarik mengenai tradisi sastra. Tercatat, pada Abad ke-19, tercipta syair-syair sejarah yang sangat berkesan dengan untaian kata-kata indah, yang bercerita tentang Kalimantan Barat dan masyarakatnya, misal Syair Pangeran Syarif dan Syair Perang Cina Monterado.

Syair Pangeran Syarif berlatarkan waktu 27 Muharam 1313 Hijrah, bertepatan dengan 7 Juli 1895 Masehi. Sultan Matan dari Ketapang menulis sebuah syair yang mengungkapkan pengalaman, pikiran, dan perasaannya setelah sembilan minggu berada di Pontianak; dari bulan pertama bulan Zulkaedah 1312 Hijrah hingga 13 Muharam 1313 Hijrah, dan tiba kembali ke Matan pada 18 Muharam 1313 Hijrah.

Syair ini menceritakan tentang Pontianak dan sultannya serta peran kolonial dalam pemerintahan kesultanan Pontianak (Arena Wati 1989). Sedangkan syair Perang Cina Monterado membicarakan kehidupan sosial, sejarah kedatangan, dan penempatan orang-orang Cina di Monterado serta pertempuran hebat yang terjadi pada tahun 1853 s.d. 1854 Masehi di Monterado.

Sebab-sebab pemicu perang dan prilaku ekonomi masyarakat Dayak dan Melayu dalam interaksinya dengan orang-orang Cina di Monterado pun tergambarkan dengan cukup baik melalui bait-bait syair ini (Arena Wati 1989:39).

Gambaran mengenai kehidupan masyarakat Kalimantan Barat di atas jelas terungkap dengan memanfaatkan sastra sebagai wujud apresiasi dan pemberitaan. Sastra dijadikan sebagai “surat kabar atau majalah” untuk menginformasikan segala macam peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat pemilik tradisi sastra tersebut. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan, sekarang ini—koran atau surat kabar menjadi sarana aktualisasi diri pengarang dalam memperkenalkan karya tulis mereka agar dapat diapresiasi oleh khalayak atau penikmat sastra.

Peran strategis surat kabar dalam mempopulerkan sastra, sudah lama dimanfaatkan oleh para pelaku seni sastra di Nusantara. Bahkan di Kalimantan Barat, periodesasi sejarah sastra dapat dinilai dan dilihat melalui karya-karya yang pernah terbit dalam surat kabar dan majalah, misal Yusakh Ananda dan Munawar Kalahan yang memanfaatkan media massa cetak untuk mengapresiasikan kemampuan dan kepiawaian mereka dalam berkarya dan menghasilkan karya sastra di awal-awal tahun 1950-an.
Oleh karena itu, perbincangan dalam tulisan ringkas ini membahas karya sastra yang muncul di harian Ap.Post dan Equator sebagai representasi wajah sastra Kalimantan Barat di Pontianak.

Sejarah Kepengarangan di Kalimantan Barat
Perkembangan kesusastraan Indonesia, secara resmi telah dimulai pada saat Komisi Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) didirikan pada tahun 1908. Bahkan A Teeuw menunjuk angka tahun 1920 sebagai lahirnya kesusastraan Indonesia modern.

Gagasan ini mulai digugat ramai sarjana, diantaranya adalah Ibnu Wahyudi, yang berpendapat bahwa sastra Indonesia modern dimulai pada 1870-an, yang ditandai dengan terbitnya puisi Sair Kedatangan Sri Maharaja Siam di Betawi.[1] Sarjana lain yang juga tidak setuju dengan angka tahun 1908 dan 1920 sebagai tonggak awal sastra Indonesia modern adalah Maman S.

Mahayana, walaupun beliau tidak menyebutkan angka tahun yang pasti, kapan lahirnya sastra modern di Indonesia. Namun, Maman S. Mahayana berpendapat bahwa banyak karya sastra yang bertebaran di media massa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang tidak dianggap atau diperhitungkan dalam menandakan lahirnya sastra Indonesia modern (Mahayana 2005:411).

Para pakar sastra mengabaikan karya-karya penting yang muncul dalam surat kabar dan majalah. Kalau kita menyimak pendapat Teeuw dan Ajip Rosidi kelahiran kesusastraan Indonesia modern hanya berdasarkan karya-karya yang dipublikasikan sebagai buku. Karya yang terbit dalam majalah dan surat kabar tidak dianggap dan cenderung ditenggelamkan (Mahayana 2005:392).

Kesusastraan modern di Kalimantan Barat dimulai perkembangannya oleh penyair dan penulis cerpen di majalah-majalah. Perkembangan awalnya dapat dilihat melalui karya-karya Yusakh Ananda dan Munawar Kalahan sekitar tahun 1950-an di majalah Siasat dan Kisah. Munawar Kalahan pada tahun 1950 telah menerbitkan puisinya di majalah Siasat dengan judul “Riwayat Sedih”, kemudian Yusakh Ananda menerbitkan cerpennya di majalah Kisah pada tahun 1953 dengan judul “Kampungku yang Sunyi”.

Dua pengarang dari Kalimantan Barat ini kemudian semakin menyemarakkan panggung sastra nasional—maraknya karya-karya mereka terbit di sejumlah media nasional lainnya di era 1950-an, seperti Mimbar Indonesia, Seni, Zenit, Indonesia, Fantasi, Aneka, dan Duta Suasana membuat mereka semakin dikenal.[2]

Kepengarangan Munawar Kalahan dan Yusakh Ananda di media-media nasional selanjutnya diikuti oleh pengarang Kalimantan Barat lainnya dengan berkiprah melalui siaran sastra dengan nama “Gelanggang” di Radio Republik Indonesia Cabang Pontianak, seperti Slamet Muslana, M.Nazirin Ar, Abdul Madjid Ar, Asfia Mahyus, A. Muin Ikram, Soesani A. Is, M. Siri R, Maria Manggala, Ibrahim Abdurrahman, H. Bustani HA, Gusti Mohamad Mulia, Alydrus, Bey Acoub, Zainal Abidin, H.A, Heri Hanwari, MS Efendi, dan Delly Ananda.

Selanjutnya beberapa dari mereka ini mendirikan kelompok pengarang Taratak Lima. Kelompok Taratak Lima selanjutnya menjadi Yayasan Taratak Lima dengan maksud menghimpun dan mempersatukan seniman dan budayawan Kalimantan Barat.[3]

Selanjutnya pada era tahun 1980 s.d. 1999 kesastraan Kalimantan Barat diramaikan lagi dengan pengarang baru seperti Khairani, Hartisani, Sulaiman Pirawan, Satarudin Ramli, Harun Das Putra, Efendi Asmara Zola, A.S Fan Ananda, Mizar Bazarvio, Odhy’s, dan Yudhiswara.

Dalam perkembangan selanjutnya muncul juga beberapa pengarang muda, seperti Meyzar Syailendra, Pradono, Aspan Ananda, Mulyadi, Abdullah, Syaza Kayong, Chandra Argadinata, Uray Kastarani HAs, Cipto Gunardi, Ibnu Hs, Nuriskandar.[4]

Sekitar tahun 1983, periodesasi sastra di Kalimantan Barat dimarakkan dengan hasil karya M. Yanis. Pada tahun 1983 beliau memulai kiprahnya dalam dunia penulisan di Kalimantan Barat dengan menerbitkan sebuah novel sejarah perjuangan di Kalimantan Barat dengan judul Kapal Terbang sembilan. Novel ini pernah diterbitkan secara bersambung oleh surat kabar Akcaya pada akhir tahun 1979 s.d. awal tahun 1980. Selanjutnya, pada tahun 1998 M.

Yanis menerbitkan lagi sebuah novel sejarah dengan judul Djampea. Beliau juga masih menyimpan sebuah novel sejarah yang belum sempat diterbitkan yang ia beri judul Bukit Kelam di Hulu Melawi. Karya-karya M. Yanis sangat menggembirakan para peminat sastra dan sejarah di Kalimantan Barat. Bahkan sampai saat ini, belum ada satu pun pengarang Kalimantan Barat yang berhasil menjadi penulis produktif—yang menghasilkan beberapa novel dalam periode 1980 s.d.1990-an selain M. Yanis (Dedy Ari Asfar 2006).

Era 2000-an, kepengarangan Kalimantan Barat semakin dimarakkan dengan pendatang-pendatang baru yang masih muda. Mereka menerbitkan hasil karyanya di beberapa media lokal, seperti Pontianak Post dan Equator. Para pengarang muda pendatang baru ini diantaranya adalah Diah Ekawati, Andini Yulina P, Eko Akbar Setiawan, Naszahwatie, Mr. Toem, Heronimus Ragen, Budiman Rahman, Tan Tjian Siong, Wina Kuspriantie, Rosa Feliana Tanaya, A.Muin.D.Achmadi, Aris Kurniawan, Hasyim Ashari, Andrian Nova, Rahmayanti Husna, Afifi Titasahara, Kartika P, Mufidah, Irin Sintriana, Andi Nuradi, Elisa Chandra, Yosaria Elza, Wisnu Pamungkas, Hamdy Salad, Nur Iskandar, Yovita, Ahmad Asma dZ, Saifun Salakim, Laut, Pay Jarot Sujarwo,[5] Phazt Alexandra, Anastasia Nuri Indah, Amrin Z.R, Eko Amriyono, Yusuf Arifin, dan lain-lain. Beberapa diantara mereka bahkan ada yang menerbitkan antologi cerpen dengan judul Titik Nol yang ditulis oleh Pay Jarot Sujarwo, Yovita, dan Amrin Z.R. Bahkan ada pengarang pemula lainnya yang telah menerbitkan novel, yaitu Anthony Ventura dengan judul Crazy Campus.[6]

Dari Lisan Menuju ke Surat Kabar
Tradisi sastra di Kalimantan Barat lebih dominan dalam bentuk sastra lisan. Keberlisanan menjadi ciri yang umum dalam tradisi sastra di kawasan ini (lihat Dedy Ari Asfar 2005a,b,c,d; Chairil Effendi 2005). Tidak ada media massa yang khusus memuat sastra lisan atau mentransformasi sastra lisan ke dalam media cetak.

Surat kabar lokal di Kalimantan Barat seperti Ap.Post dan Equator hanya menyediakan kolom khusus untuk para peminat sastra modern seperti puisi dan cerpen. Selain itu, sesekali ada juga bentuk sastra lisan yang ditransformasikan dalam sastra tulis dengan memuatnya ke dalam media massa cetak lokal di Kalbar. Sastra lisan yang biasa muncul di surat kabar lokal wujud dalam bentuk pantun. Perhatikan sebuah bait pantun berikut.

Dari Siantar ke Berastagi
Dari padang ke Bukit Tinggi
Pegawai kecik sampai pejabat tinggi
Korupsi dah dijadikan ideologi

Bait pantun di atas pernah beberapa kali muncul dalam surat kabar lokal di Kalimantan Barat seperti Ap.Post dan Equator. Bait pantun ini memang tidak dimuat secara khusus dalam kolom apresiasi sastra tetapi ia merupakan sebuah iklan dari radio Kenari untuk berpromosi.

Walaupun demikian, ada sedikit gambaran menarik bahwa sastra lisan juga merambah media cetak untuk dapat dibaca dan dinikmati oleh khalayak dan digunakan sebagai sebuah sarana untuk menyampaikan pemikiran. Fenomena serupa juga tampak dalam kolom Mat Belatong yang muncul tiap-tiap hari minggu di Equator; biasanya ada saja pantun dan syair yang digunakan dalam wacana-wacana yang dilontarkan oleh penulis Mat Belatong tersebut (lihat diantaranya A. Halim R, 30 April 2006 dan 16 Juli 2006:15).

Fenomena ini sekiranya yang penulis sebut sebagai transformasi lisan ke tulisan atau dengan istilah lain dari keberlisanan menuju keberaksaraan dalam sastra di Kalimantan Barat. Perhatikan Contoh pantun dimaksud berikut ini.

Pantun Mat Belatong[7]
Ikan Kepetek ikan buin
Ikan betutu ikan gelama
Kalau Ente jadi pemimpin
Dengarlah pantun khazanah lama

Ikan buin ikan bawal
Jadi pemimpin jangan bual
Ikan semah ikan silauari
Mikol amanah jangan mencuri

Arti Penting Kolom Sastra dalam Surat Kabar lokal
Surat kabar lokal seperti harian Ap.Post dan harian Equator memainkan kiprah yang penting dan sangat berjasa dalam mengantarkan pengarang dan karyanya kepada para penikmat atau pembaca dalam memahami fenomena karya sastra lokal yang ada di Kalimantan Barat. Kedua harian ini menjadi “foto” yang memotret situasi kesastraan yang dimiliki Kalimantan Barat.

Karya sastra yang dimuat dalam surat kabar lokal ini memainkan peran yang sangat penting. Pertama, surat kabar menjadi sarana atau wadah bagi para penulis untuk terus berkarya dan mengenalkan karyanya kepada para penikmat sastra secara berterusan.

Kedua, surat kabar juga berfungsi sebagai “rumah produksi” yang menerbitkan dan mengenalkan penulis karya sastra, dengan kata lain surat kabar mendistribusikan pemikiran seorang penulis dan menjadi penyambung lidah antara pengarang dan pembaca.

Ketiga, surat kabar menajdi batu loncatan bagi pengarang sebelum menerbitkannya menjadi sebuah buku. Artinya, adanya kecenderungan untuk menerbitkan kembali karya-karya sastra terbitan surat kabar menjadi buku—hal demikian sudah dilakukan oleh ramai pengarang dan penerbit sejak dahulu hingga sekarang. Ini dapat dilihat seperti yang dilakukan oleh M. Yanis dengan novel Kapal Terbang Sembilan; sebelum menjadi buku, novel ini pernah diterbitkan secara bersambung di harian Akcaya. Bahkan surat kabar nasional seperti Kompas malah menerbitkan cerpen-cerpen yang pernah mereka muat di harian tersebut menjadi suatu kumpulan buku (antologi).

Seputar Tema Sastra di Ap.Post dan Equator
Tema yang umum muncul dalam cerpen dan puisi di harian Ap.Post adalah seputar cinta remaja, Tuhan, dan kemanusiaan. Di harian Equator tema yang muncul lebih cenderung tema-tema ketuhanan, kemanusiaan, sosial, dan budaya yang bersifat lokal. Diantara sekian banyak penulis, berikut ini penulis paparkan tema yang pernah ditulis dalam bentuk cerpen dan puisi oleh beberapa penulis sebagai contoh.

Cerpen berjudul “Melayu Laut” karya Yosaria Elza dan cerpen “Notongk” yang ditulis oleh Laut merupakan cerpen-cerpen yang membicarakan tema sosial dan budaya yang benar-benar terjadi di Kalimantan Barat. Cerpen yang ditulis oleh Yosaria Elza mengangkat isu identitas etnis penduduk Kalimantan Barat.

Penulis cerpen ini membicarakan isu itu dalam jalinan watak cerita dengan berusaha mengutarakan pemikirannya melalui watak Puasa dan Pak Pung. Perhatikan kutipan berikut.
...“Bapak suku apa, orang apa?”
“Laut pak,” jawab puasa Pendek.
Puasa memang selalu menjawab demikian setiap kali ditanya suku atau bangsa apa. Tapi kali ini, di depan banyak orang, kepala kampung itu, menyalahkannya.

Menurut Pak Pung jawaban yang benar adalah Melayu, bukannya Laut! Laut itu sebutan untuk orang Melayu dahulu dan sudah tak layak lagi dipergunakan. Tak ada “Laut”, seperti juga tidak ada lagi sebutan “Darat” kata Pak Pung. Puasa kian keki karena kata-kata Pak Pung membuat orang yang hadir di pertemuan itu mentertawakannya.

Cerpen Notongk yang ditulis oleh Laut juga menawarkan perspektif sosial dan budaya Kalimantan Barat. Melalui cerpen ini, kita dapat mengetahui sebuah tradisi dalam masyarakat Dayak. Sebuah tradisi yang disebut notongk, yaitu sebuah tradisi ritual untuk menghormati tengkorak (abak) yang pernah menjadi korban tradisi mengayau (Equator Minggu, 8 Januari 2006). Demikianlah tema cerpen yang muncul dalam harian Equator dan masih banyak lagi tema-tema lain yang membicarakan tentang Tuhan, manusia, budaya, dan aspek-aspek lain yang lebih bersifat lokal.

Bahkan Asriyadi Alexander, editor yang menangani kolom seni dan sastra berkomitmen untuk menerbitkan cerpen-cerpen yang bernuansa lokal dengan pelbagai perspektif tetapi tidak menerima karya yang bertemakan cinta dan remaja (KP, 20/3/2006).

Cerpen-cerpen yang dimuat harian Ap.Post sepertinya agak longgar dalam menerbitkan karya-karya sastra penulis pemula lokal. Artinya, sang editor tidak memberikan kriteria khusus karya-karya yang handak diterbitkan, “asal” ada tulisan yang oleh penulisnya disebut cerpen dan dikirimkan ke Pontianak Post, mungkin akan diterbitkan dalam kolom “Apresiasi”, yaitu kolom sastra yang ada di harian Ap.Post.

Hal ini mungkin disebabkan keinginan Ap.Post untuk mewadahi sesiapa saja yang menaruh minat dalam dunia penulisan dan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada individu dalam berkarya. Tema yang muncul cenderung membicarakan tentang cinta dan remaja, ada juga tema-tema ketuhanan, kamanusiaan, dan sosial.

Kelonggaran yang penulis maksudkan di sini ialah, sepertinya tidak ada proses seleksi yang selektif dalam menerbitkan tulisan di kolom sastra harian Ap.Post sebab tulisan yang tidak begitu menarik dan tidak bernilai sastra pun dapat terbit dengan mudah.

Hal ini dapat dilihat dalam cerpen “Tulisan untuk Pay” oleh Diah Ekawati (Ap.Post, Minggu 31 Oktober 2004), yang menurut penulis hanya semacam surat cinta seorang gadis kepada lelaki yang dipujanya.

Cerpen ini tidak memperlihatkan konflik dan klimaks dalam alur peristiwa cerpen. Padahal inti sebuah cerpen adalah konflik. Cerpen-cerpen yang bertema demikian berdasarkan catatan yang ada pada penulis dapat dilihat juga dalam cerpen “Messages” oleh Kartika P, “Andai” oleh Andini Yulini P, “Bisu” oleh Mr.Toem, “Hati Yang Tersembunyi” oleh Wina Kuspriantie, dan lain-lain.

Namun, ada juga penulis pemula yang menggarap tema-tema sosial yang lagi up to date, seperti kemiskinan, kelangkaan bahan bakar minyak, dan korban pelecehan seksual yang dialami oleh TKW di negeri jiran.


Penutup
Peran penting surat kabar lokal dalam memberdayakan dan mengenalkan penulis sastra tidak dapat dinafikan. Surat kabar lokal menjadi pencatat atau dokumen yang mengesahkan eksistensi penulis sastra lokal di Kalimantan Barat. Bahkan surat kabar lokal di Kalimantan Barat menjadi barometer untuk melihat wajah sastra yang berkembang di Kalimantan Barat.


BIBLIOGRAFI
A. Halim R. 2006. Kolom Mat Belatong. Dalam Equator, Minggu 30 April 2006 dan 16 Juli 2006.
Dedy Ari Asfar 2005a. Kengkarangan: Tradisi Syair Melayu di Pedalaman Ketapang. Makalah yang disampaikan dalam seminar bulanan di Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Barat pada bulan Maret 2005.

Dedy Ari Asfar. 2005b. Identitas Lokal dan “Ilmu Kolonial” di Kalimantan Barat. Dalam Yusriadi, Hermansyah, dan Dedy Ari Asfar. Etnisitas di Kalimantan Barat. STAIN: Pontianak Press.
Dedy Ari Asfar. 2005c. Etnopuitika: Ilmu Linguistik dan Sastra Lisan di Pulau Kalimantan. Makalah yang disampaikan dalam Kongres Linguistik Nasional di Padang, pada 18--21 Juli 2005.

Dedy Ari Asfar. 2005d. Islamic and Pre-Islamic Culture: The Data of Malay Oral Tradition in Cupang Gading, West Kalimantan. Makalah yang disampaikan dalam konferensi Internasional di Imperial Mae Ping Hotel, Chiang Mai, Thailand pada 7—8 Desember 2005.

Dedy Ari Asfar. 2006. Citra Manusia dalam Novel Perjuangan Rakyat Kalimantan Barat Karya M. Yanis. Laporan penelitian. Pontianak: Balai Bahasa Kalimantan Barat.
Ong, Walter J. 1982. Orality and literacy: The Technologizing of the World. New York: Methuen & Co.Ltd.

Mahayana, Maman S. 2005. 9 Jawaban Sastra Indonesia, Sebuah Orientasi Kritik. Jakarta: Bening.
[1] Ibnu Wahyudi mengatakan, awal keberadaan Sastra Indonesia modern dimulai pada 1870-an, yang ditandai dengan terbitnya puisi Sair Kedatangan Sri Maharaja Siam di Betawi (anonim), yang sekarang diterbitkan kembali dalam Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (KPG, 2000). (Lihat Asep Sambodja Republika Minggu, 21 November 2004).

[2] Musfeptial, 2003, Biografi Pengarang Kalimantan Barat, Pontianak: Balai Bahasa Kalimantan Barat, halaman 12.

[3] Pendiri dan anggota Taratak Lima adalah H. Bustani HA, Gusti Mohamad Mulia, Alydrus, Bey Acoub, Zainal Abidin, H.A, M. Siri, Soesani A. Is, Heri Anwari, MS Efendi, dan Delly Ananda. Penamaan Taratak Lima pertama kali dianjurkan oleh Gusti Mohamad Mulya. Kata Taratak bermakna pondok atau dangau sedangkan Lima bermakna bahwa anggota kelompok ini selalu berkumpul di depan korem, tempat berkumpulnya para pedagang kaki lima. Kelompok ini juga membentuk grup musik dengan nama Kumbang Cari (Musfeptial 2003:13).

[4] Ibid., halaman 16--19.

[5] Beliau ini termasuk penulis yang aktif, karyanya antara lain adalah Antologi Puisi di West Borneo, Kembara Cinta ini Kuceritakan, diterbitkan di Pontianak pada tahun 2005 oleh Pijar Creativity.

[6] Novel ini bertemakan remaja. Anthony Ventura adalah seorang pengarang pemula yang berasal dari
etnik Cina Pontianak. Beliau lahir di Pontianak, 10 Agustus 1980. Pendidikan terakhir, Sekolah Tinggi Manajemen Ilmu Komputer (STMIK) Pontianak tahun 2002. Novelnya Crazy Campus diterbitkan di Depok, Jakarta oleh penerbit Kata Kita tahun 2005.

[7] Pantun ini penulis kutip melalui kolom Mat Belatong oleh A. Halim R dalam harian Equator, Minggu 30 April 2006.

Sabtu, 13 Desember 2008

Surat Cinta Pembaca Cerdas

Sepekan terakhir, perasaan saya berkecamuk. Itu setelah seorang Pembaca Cerdas berinisial Bis, mampir ke blog saya. Kebetulan selain berkenalan, dia juga mengkritisi tulisan pendek saya tentang Tribun Pontianak yang jadi Trend Setter di Kalbar.

Kritik membangun itu dilontarkan di chatbox, yang noatebene hanya untuk pesan singkat. Jadi, kalau dibaca kurang efektif plus cape. Untuk memudahkan membacanya, sekaligus menjadi bahan diskusi agar lebih mengalir, saya berinisiatif menampilkan surat dari Pembaca Cerdas itu ke dalam naskah yang enak dibaca.


Saya sempat meminta Bis untuk menunjukkan alamat blognya, namun sepertinya, ia keberatan kalau jati dirinya ketahuan. He he he...Sebab, terus terang saya tergelitik juga untuk mencermati dan menanggapinya kritiknya tersebut.

Kalau kemudian, surat tersebut saya tanggapi, itu bukan untuk memojokkan koran tetangga. Hanya mungkin ini gerak replek jika dicolek. Dengan itikad baik dan berharap lahir diskusi cerdas, saya bersabar memindahkan pesan Bis ke dalam naskah yang Enak Dibaca dan Perlu (Lha kok kayak tagline majalah TEMPO?)

Agar mengalir, saya langsung menjawab kritik Bis, yang kemarin belum selesai sepenuhnya. Jika pesan Bis si Pembaca Cerdas dicetak miring, tanggapan saya ditulis biasa. Semoga bermanfaat.

Mas ini dari pembaca Pontianak Post. Kritikan saya tentang tribun jadi trend setter.
Gak juga. Justru Pontianak Post sebagai media pertama dan terutama di Kalbar punya ciri khas berbeda dengan Tribun Pontianak. Pertama dari desain grafis. Grafisnya yang visual communication memudahkan masyarakat untuk cepat menangkap pesan yang diberikan.

- Anda memang Pembaca Cerdas. Saya salut. Bisa menganalisis sampai ke grafis. Saya saja baru tahu ada istilah kaya begituan. Tapi, selama 35 tahun baca Pontianak Post, pernahkah Bis melihat di halaman I Pontianak Post, membuat dan membuat grafis hanya untuk berita orang tertimpa pohon akasia.

Selain itu layoutnya juga rapi dan tepat. Maaf ni, kalo Tribun masih acak-acakan. Kriminal disatuin dengan berita lainnya. Habis itu ya, kita kan di Pontianak harusnya Tribun mencotoh koran lokal yang lebih banyak nunjukin berita lokal.

- Hmmm..soal usulnya mencontoh Pontianak Post atau koran lainnya, pikir-pikir dulu dah. Lagi pula, kalau semua koran segeram eh seragam, apa jadinya?

Kalo berita nasional atau internasional mah udah banyak Mas. Di internet juga banyak yang kayak gituan. Selain itu, kalo di Pontianak Post punya halaman metropolis yang melingkupi kota pontianak.

- Suka buka internet juga yach. Punya blog kagak? minta dong! he he he...kalau semua pembaca seperti Anda, malah gak perlu lagi baca koran. Kan udah ada di internet semua. Persoalannya, berapa banyak sih yang bisa akses internet. Ada kok pembaca yang jangankan internet, komputer aja mereka gak punya..kan tanggungjawab kita mencerdaskan kehidupan bangsa.. he he he. Soal halaman, relatif bos..!

Saran saya sih, kolomnya itu loh yang banyak berpihak ke keturunan non pribumi. Ya aneh juga. Coba dijelaskan, mengapa tidak memakai kolom khusus yang memuat semua kalangan seperti Metropolisnya di Ptk Post. Saya rasa lebih tepat. Tidak memicu konflik sara. Emang semacam membedaka-bedakan. Emang dibayar berapa tu buat halaman itu.

- Bis..coba lebih teliti deh. di Tribun Pontianak cuman ada satu halaman, eh bukan deh, setengah halaman, sisanya iklan. Namanya halaman Seng Hie Life. Pontianak Post Group malah punya, bukan lagi satu halaman, tapi satu koran utuh. Inget gak...nama korannya, Kun Dian Ri Bao! Ayo..bandingin bayarannya? Itupun kalau dibayar he he he.

Apalagi, perkara pengecer Pontianak Post yang nempel dengan pengecer Tribun di awal-awal semua cewek. Ya pastilah wong orang tua juga demen. Apalagi ama yang muda. Apalagi, pengecer Pontianak selalu wellcome dengan kedatangan teman baru.

- Faktanya memang begitukan. Adakah pengecer koran di lampu-lampu merah dan persimpangan jalan sebelum kedatangan Tribun. Kagak ada Bos..soal cewek, itu dia persoalannya. Cewek emang kerap jadi persoalan. Sampai-sampai ada yang istrinya dua atau malah gebet temen sekantor or karyawan sendiri. Busyet...!!

Soal soccernya kembali lagi Pontianak Post lebih menonjolkan olah raga lokal. Ketimbang Tribun lagi-lagi dari luar.

- Usul diterima.

Ada lagi saya dengar2 oplah Tribun sudah sampai 30 ribu eks. Rasanya aneh, Pontianak Post aja yang udah bertahun, saat ini 35 ribu eks. Mana mungkin Tribu dalam jangka waktu sekejap bisa meraup begitu banyak. Apalagi untuk ukuran Kalbar. Bayangkan aja, meskipun harga Pontianak Post Rp 2.500, namun pembeli tetap setia. Karena yang penting kualitasnya. Dan strategi Pontianak Post sangat tepat dengan menurunkan harga Metro yang merupakan salah satu grup Pontianak Post. Jadi, Pontianak Post sebagai leader menurunkan Metro untuk menghadapi Tribun.

- Soal oplah, tanya deh ke Pontianak Post, jangan-jangan oplahnya nggak segitu. Sama seperti anda meragukan oplah Tribun Pontianak, jangan-jangan oplahnya juga gak segitu. Soal strategi penurunan harga Metro Pontianak, yang bener Bis..Metro emang harganya turun, tapi halamannya juga ikut menyusut. Sesuai lah. Sekadar mengingatkan, saya tiga tahun jadi Redaktur Metro, setahun jadi Redaktur Pelaksana. Sejak Oktober 2000, saya sudah jadi reporter di Pontianak Post dan Kapuas Post. Sempet jadi Kepala Biro Sanggau, Singkawang, dan Kabupaten Pontianak.

Dan masih banyak lagi. Sori ya mas. Masih banyak yang perlu dibenahi di Tribun.

- Usul bagus tuh. Sebab, dunia terus berubah. Masyarakat terus berkembang. Bisnis semakin ketat. Bunuh diri kalau gak berbenah. Tentu saja berbenah dengan perubahan yang untuk menjadi yang Berbeda dan Lebih Baik. Doain yang Bis, semoga Tribun Pontianak juga punya pembaca setia seperti Bis yang 35 tahun setia ama Pontianak Post.

Sy bukan wartawan Mas. Sy hnya org biasa aja. tp, maaf ni saya lihat Tribun Pontianak tidak menunjukkan ciri sebagai grupnya Kompas.

- Awalnya, Bis saya kira teman saya di kantor yang lama. Saya kenal betul pikiran-pikiran seperti itu lahir dari kepala siapa. Soal pencerminan...coba Bis bercermin di rumah. Apakah wajah, perilaku, dan fostur tubuh Bis mencerminkan wajah, perilaku, dan fostur tubuh dari ayah atau ibu Bis?

Singkat amat penjelasannya. Ya sudah gak perlu dijawab. saya sudah tau jawabannya.

- Itu kenapa Bis saya analogikan dengan Pembaca Cerdas. Hanya dengan penjelasan singkat, Bis sudah tahu jawabannya. Luar biasa..!Tapi, benarkan bukan teman saya di kantor yang lama.. he he he..?

Jumat, 12 Desember 2008

Robo-robo, Media Unifikasi Etnis

SEPERTI tahun lalu, pusat perayaan robo-robo kali ini dipusatkan didua lokasi. Masing-masing di Mempawah Hilir dan Kuala Sungai Kakap. Secara ritual memang tidak ada yang berubah, namun prestisenya telah mengalami pergeseran.

Dulu, upacara yang dimaksudkan untuk memperingati kedatangan Ompu Daeng Manambon di Kuala Mempawah untuk pertama kalinya ini, eksklusif bagi etnis Melayu dan Bugis.

Kini, selaras dengan perubahan tata nilai yang tak terbendung demarkasi SARA, robo-robo menjelma jadi kebanggaan etnis-etnis yang ada di daerah ini. Setidaknya deskripsi seperti itulah yang terlihat dari perayaan robo-robo di Kuala Sungai Kakap, Rabu (23/5). Sepuluh ribu lebih pengunjung dari berbagai etnis, berbaur menanggalkan baju pluralitas larut dalam estetis dan eksotika robo-robo.

"Kami tidak melihat lagi, tradisi ini mutlak milik etnis Bugis dan Melayu. Tetapi muncul kesepakatan, robo-robo milik semua etnis, khususnya yang ada di Sungai Kakap," kata ketua panitia robo-robo, Bachtiar S Sos menjawab AP Post, kemarin. Dijelaskannya, masyarakat Sungai Kakap ingin menunjukkan kepada semua pihak kalau mereka mampu hidup berdampingan dengan baik.

Masyarakat Sungai Kakap akan tetap bersatu dalam keadaan apapun. Karenanya tidak mengherankan jika dalam perayaan robo-robo kali ini, semua etnis dengan pakaian tradisionalnya masing-masing ikut meramaikan perhelatan ini.

Diceritakannya juga, robo-robo kali ini, sedikit berbeda dari perayaan sebelumnya. Jika tahun lalu robo-robo dilaksanakan di darat, kini dilaksanakan di laut. Tidak hanya itu, kali ini robo-robo dijadikan satu paket dengan upacara Sedekah Laut."Paket ini kami kemas dengan harapan, bisa lebih memberikan daya tarik. Sehingga kedepan robo-robo akan jadi aset wisata yang berharga," ujar Sekretaris Camat Sungai Kakap ini.

Langkah ini terbukti efektif. Walaupun belum banyak investor yang tertarik, namun setidaknya pada perayaan kali ini, ada beberapa agen perjalanan wisata yang telah melihat dari dekat potensi robo-robo. Langkah ini juga sejalan dengan keinginan Kabupaten Pontianak, yang akan menjadikan Kecamatan Sungai Kakap sebagai pusat wisata daerah. kini telah tersedia satu kawasan Agrowisata di Pal IX.

"Melihat antusiasme warga, nampaknya obsesi itu bukan tanpa alasan. Tanpa diundangpun warga spontan datang ke Sungai Kakap," tambah Camat Sungai Kakap, Drs Syafrudin. Namun ia juga menyayangkan, sebab selama ini pemerintah kurang bisa melihat potensi wisata ini. Buktinya pendanaan sebesar Rp 9 juta, dalam pelaksanaan robo-robo kali ini, semuanya murni hasil swadaya masyarakat.

Mestinya kata dia, dinas Pariwisata memiliki strategi untuk memperkenalkan tradisi ini kepada masyarakat. Baik lokal maupun mancanegara. Sebab kemampuan masyarakat sebagai pelaksana sangat terbatas. Jika robo-robo berhasil menarik perhatian turis, diharapkan masyarakat sekitarnya akan mendapatkan keuntungan. Terutama yang berkaitan dengan pendapatan dan perekonomiannya. Sebab dalam ajang tersebut masyarakat bisa menawarkan jasa. Baik untuk penginapan maupun dengan menjual aneka kerajinan tangan.

Sementara itu, robo-robo dilaksanakan setiap hari Rabu akhir bulan Sapar. Perayaannya spontanitas dilakukan oleh masyarakat. Prosesi robo-robo itu sendiri dimulai sejak pukul 08.00 WIB hingga 16.00, untuk memanjatkan doa selamat dan tolakbala. Tujuannya agar masyarakat diberikan keselamatan dan dijauhkan dari malapetaka.

Sedekah laut ditandai dengan melarung empat buah Ancak (sesajian) kelautan. Pelepasan itu dilakukan langsung oleh Pawang Laut. Konon, ancak dilarung ke laut lepas, sekitar tiga mil jauhnya dari pantai. Ancak tersebut sebagai tanda ucapan terimakasih atas karunia Tuhan YME kepada warga Sungai Kakap. pelarungan itu sendiri dikawal oleh beberapa buah sampan yang dihiasi dengan indahnya.(hasyim ashari).

Ketika tulisan ini saya buat, saya belum genap setahun sebagai reporter Pontianak Post. Masih belajar nulis...Dimuat tanggal 24 Mei 2001.
Melihat naskah aslinya klik:http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Kota&id=2867